14~Sakit Jantung?

34 6 0
                                    

Tak terasa sudah 2 hari mereka berada di hotel mewah nan indah itu. Tak terasa juga free time mereka sudah hampir habis dan digantikan waktu belajar.

Pukul 16.33 mereka berencana pergi ke puncak untuk menikmati sunset. Terhitung hanya 1 jam menuju puncak.

"Kita ke puncaknya naik apa emang?" Tanya Allicia datar. Tidak mungkin dan tidak akan mau dia jalan kaki menuju puncak bukan?

"Tenang aja, kita naek mobil kok!" Balas Cilla girang merangkul Allicia.

"Kalo disuru jalan kaki, awas aja." Ancam Allicia berjalan mengikuti arah jalan Cilla.

"Iya-iya~" Cilla mengibas-kibaskan tangannya di udara.

Bukannya Allicia alay dengan tidak mau jalan kaki. Tapi kenyataannya, memang ada yang mau jalan kaki ke puncak yang naik kendaraan saja sudah menempuh waktu 1 jam? Bagi Allicia lebih baik liat di hape searching di mbah google gambar sunset di puncak.

★★★

Melihat sunset di puncak sungguh menyenangkan apalagi dengan sahabat dekat. Sayangnya ada kunyuk tetangga kamar hotel mereka.

Mereka tiba di puncak 15 menit yang lalu. Sebentar lagi pemandangan yang indah dipandang akan menjadi sajian bagi mereka.

Suasana memang terasa romantis, apalagi untuk Cilla dan Alvaro. Tapi tidak bagi Allicia. Diana terus berkokok bersahutan dengan Faisal. Dan hanya dirinya dan Rafan. Saling diam di detik-detik matahari tenggelam.

Kini Allicia tidak menyesal meninggalkan rumah. Kesehariannya 3 minggu mendatang akan dipenuhi dengan gelak tawa dan perdebatan yang akan meramaikan hari.

Walau tujuan mereka bukan untuk liburan, tapi itu saja sudah cukup. Manusia tidak hidup hanya dalam satu sisi kan?

"Kopi hitam?" Tawar Rafan yang sedari tadi hanya diam menikmati pemandangan dengan segelas kopi hitam di sebuah cup.

"Nggak makasi."

Keheningan meliputi kembali. Detik-detik dimana mereka merenungkan kehidupan masing-masing.

"Kenapa lo suka diam?" Tanya Rafan membuka topik. Hanya mereka berdua yang bisa mendengar satu sama lain karena Diana dan Faisal di dekat pohon agak jauh dari mereka, lalu Alvaro dan Cilla di atap mobil yang diparkir agak jauh pula.

"Lo sendiri juga diam." Balas Allicia sekannya.

"Orang ngelakuin sesuatu pasti punya alasan tersendiri."

"Lo mendadak bijak."

"Dari dulu."

Allicia tersenyum miring. "Lo sombong juga ternyata."

"Baru tau?"

Allicia berdecak. Lalu ia berucap, "Alasan gue sih, diem itu enak. Udah kan?"

"Gak yakin gue kalo itu alasan lo," Rafan diam sejenak, "tapi kalo bagi gue dengan diem gue lebih bisa dengerin pendapat orang lain."

Allicia diam. "Lo gak bisa bohongin gue dengan alasan lo tadi." Ucap Rafan lagi.

Allicia masih diam. Lalu detik berikutnya ia berucap dengan tenang, "Lo bilang 'setiap orang punya alasan tersendiri', dan itu tadi alasan gue. Lo gak bisa ngerubah alasan gue untuk diam."

Detik itu Allicia berpikir, apa semuanya itu tidak bisa kututupi di hadapan orang ini?

"Seketika gue mikir, kenapa kalo bohong mudah diucapkan sementara berkata tentang fakta sebegitu susahnya?" Rafan menjeda kalimatnya.

"Karena, dengan itu diri kita sendiri nggak bisa menerima fakta dan melarikan diri menutupnya dengan kebohongan. Benar?" Allicia diam tak berkutik.

With You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang