Ketika rasa kasih sayang terbagi menjadi beberapa cabang, terkadang disanalah kita wajib mandiri dan berjuang sendiri tanpa harus menyalahkan apa yang terjadi.
Fatimah berdecak kesal sambil melemparkan ponselnya di atas kasur. Dia sangat frustasi ketika harus mengingat berapa banyak uang yang telah dikeluarkan dari dompetnya untuk memenuhi Uji Kompetensi Pemasaran. Berapa kali dia menghela napas lelah untuk sebuah sandaran yang tiada artinya. Padahal keadaan ekonomi keluarga Fatimah saat ini sedang merosot tajam, ditambah ponsel Fatimah yang rusak.
"Fat?" Panggil Akbar
Fatimah tak menjawab panggilan tersebut, dia masih menyangka bahwa Ayahnya itu sudah tak peduli lagi.
"Fat, kamu kenapa?" Sambil menaruh uang Rp. 50.000 di atas kasur untuk keperluan sekolah.
"Sakit." Ucapnya singkat yang membuat Akbar semakin geram.
"Ngapain kamu nangis?" Dengan nada marah yang membuat Fatimah Enggan untuk menjawab.
"Fat."
"Fatimah, jawab pertanyaan Ayah." Bentaknya dengan menendang pintu kamar. Akbar memang seperti itu, jika marah dia akan bertindak sesuka hatinya tanpa memikirkan orang sekitar.
"Percuma Fatimah jelaskan juga, Ayah akan tetap tidak mengerti apa yang diinginkan Fatimah." Akhirnya perkataan itu keluar juga dari mulut Fatimah.
"Fatimah jaga pembicaraan kamu, Ayah tak pernah mengajarkanmu untuk melawan orangtua."
"Anak cerminan dari orangtua." singkat dan tak peduli sedang berhadapan dengan siapa. Tapi dalam lubuk hatinya, Fatimah merindukan sosok Ayahnya yang dulu.
"Apa maksud kamu?"
"Benarkan anak itu cerminan dari orangtuanya. Lihat saja Alif anak Ayah, dia sering melawan perkataan Mamah dan Ayah. Karena cara didik kalian itu berbeda, menurut aku salah. Wajar saja jika kami berdua tak betah di rumah, kami hanya seorang anak yang ingin merasakan kasihsayang dari orangtua secara utuh, tanpa adanya pembeda. Kami hanya menginginkan manjaan bukan celotehan yang menyakitkan, sebab kami masih dalam pertumbuhan, masih dalam masa didikan, bukan cacian. Maka jangan heran ketika Alif melawan pada Ayah dan Mamah, sebab bukan itu yang Alif inginkan. Dia masih kecil, dia masih kelas 4 SD. Dia masih perlu diperhatikan secara utuh, jangan sampai dia mencari perhatian terhadap oranglain dan melupakan rumah sebagai tempat singgahan menjadi tempat sanggahan." Jelas panjang lebar Fatimah mengeluarkan kata-kata yang selama ini dia rasakan, dia hanya ingin kembali pada masalalu dimana semua baik-baik dan mendapatkan kasih sayang yang utuh tanpa harus ada pembeda dan pembatas.
"Cukup Fatimah, Ayah tidak suka dengan apa yang kamu bicarakan. Lagian Ayah sama Mamah tidak akan marah jika kalian berdua tidak salah." Akbar membela dirinya sendiri seolah-olah benar, padahal pada kenyataannya diapun salah.
"Nah, ini yang Fatimah tidak suka dari Ayah. Ayah selalu ingin menang sendiri dan tak mau mendengarkan oranglain. Maka jangan heran ketika anak tak mendengarkan nasihat orangtua, sebab orangtuanya sendiri tak bisa menghargai anak." Air mata itu terus membasahi pipi Fatimah, sebab dia wanita yang lemah ketika harus membahas tentang keluarga. Dia tak mempunyai sandaran dikala duka, hanya saja dia masih mempunyai Allah yang selalu mengawasi dirinya kapanpun dan dimanapun.
"Fatimah, Ayah sayang sama kamu. Ayah seperti ini hanya untuk kalian, Ayah menginginkan anak-anak Ayah cerdas dan tak bergantung pada oranglain."
"Tapi cara Ayah salah, kenapa harus aku yang terus-terusan menjaga perasaan Mamah? Sedangkan diriku lebih terluka? Ayah tak pernah tahu berapa banyak airmata yang aku sampaikan dalam sujud ketika lelah melihat kalian berdua yang selalu membentak Alif, Ayah juga tak pernah menanyakan bagaimana tugasku di sekolah, bagaimana teman-temanku, dengan siapa aku gaul, dan pada siapa aku mengobrol. Ayah tak pernah menanyakan itu semua. Padahal aku selalu iri pada mereka yang bisa kemana-mana dengan Ayahnya. Aku hanya ingin pelukan Ayah kembali tanpa harus terluka dan terulang kembali. Aku hanya ingin dicintai oleh seorang Ayah tanpa harus tersakiti dalam ruang lingkup yang sulit dipahami."
"Fat, kita tak pernah tahu apa yang terjadi. Mamah meninggalkan kita semua bukan keinginan kitakan? Itu sudah menjadi ketentuan, sudah menjadi ketetapan Allah. Kita sebagai hambanya wajib menerima, Ayah juga tak ingin seperti ini, Ayah juga sama kayak kamu, rindu sama Mamah. Tapi bagaimanapun juga dia telah kembali pada sang pencipta, begitupun dengan Ayah, kamu, Alif, dan kita semua akan kembali. Tinggal menunggu waktu yang tepat, waktu yang telah Allah rencanakan. Ayah juga tak ingin menikah lagi jika akhirnya menyakiti kalian, tapi bagaimanapun juga Ayah perlu seorang istri kembali untuk mengurus semuanya. Tapi tetap saja, yang pertama dan yang kedua itu berbeda. Kamupun bisa menilai, Ayah sayang banget sama Mamahmu, tapi semua telah terjadi, kita wajib mendo'akan bukan berlarut dalam kesedihan."
"Tapi kenapa Ayah selalu membela Mamah? Tak pernah sedikitpun Ayah membelaku. Apa Ayah takut sama Mamah? Yah, Fatimah mohon dengan sangat bahwa Ayah tak boleh terus diam, Ayah seorang kepala rumah tangga, bagaimanapun juga Ayah mempunyai tanggungjawab untuk menasehati seorang istri. Bolehlah aku jujur sebentar, bahwa aku merindukam Mamah yang sekarang ketika waktu dulu pas dekat sama Ayah dia sangat peduli terhadapku, bahkan ketika aku sakit dia mencium keningku dan membawakan jeruk untukku. Tapi kali ini, di detik ini seolah-olah semuanya tak peduli bahkan aku merasa asing."
"Fat, sudah malam waktunya untuk tidur. Maafkan Ayah yang belum bisa menjadi Ayah seperti yang kau inginkan." ucapnya dengan meraih tubu Fatimah kepelukannya, ini di luar dugaan Fatimah. Biasanya Akbar ketika marah akan langsung meninggalkan, tapi kali ini dia mendengarkan sampai tuntas.
"Alif makanya belajar, jangan main terus. Mamah tidak akan menyuruhmu lagi, Ayahmu selalu salah tanggap ketika Mamah menyuruhmu untuk belajar." Sentaknya pada Alif kembali kini terjadi di malam hari disaat yang lain ingin tidur untuk mengakhiri hari ini dengan menyambut hari esok pagi.
Assalamu'alaikum maaf sekali saya bisa lanjut cerita ini kembali.
Jangan lupa vote sama komentarnya yah hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Analisa Cinta
Spiritual***** Bagaimana mau jadi suami yang baik, jika memperlakukan wanita saja masih belum baik. ***** Gadis cantik bernama Fatimah Az-Zakiyyah yang selalu mensetorkan hafalannya kepada Ustadzah Khadijah di Mushola sekolah sehabis sholat. Gadis yang memp...