Adiknya

307 49 11
                                    

prok prok prok

Suara tepuk tangan itu berasal dari arah belakang Devit dan Aisyah.

"Devit...." Suara Mona mengagetkan mereka berdua.

Devit dan Aisyah diam, mereka tidak tahu maksud dari ucapan Mona barusan. Rasanya mereka berdua salah, telah membicarakan hal ini di tengah-tengah keberadaan Mona. Meskipun Mona di luar, tetap saja ada kecurigaan tersendiri dibenak Mona yang secara tidak langsung berpikiran bahwa berjumpanya mereka berdua pasti untuk membicarakan Fatimah.

"Gue tahu, pasti kalian berdua sedang membicarakan Fatimah. Tidak perlu khawatir dengan keberadaan gue disini, gue cukup sadar diri bahwa gue disini hanya sebagai penghambat bagi hubungan kalian. Seandainya saja saat itu kita tak berjumpa, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini. Mungkin benar, gue yang terlalu berambisi untuk mendekati lo, sampai harus ngadu kebokap gue dan ngancem semuanya untuk disangkut pautkan dengan kerjasama antara dua keluarga. Tapi nyatanya, cinta tak bisa dipaksa. Ia bermuara pada lembah yang tepat, bukan yang sempat."

"Maksud lo apa?" Tanya Devit yang tidak paham dengan pola pikir Mona.

"Kalian berdua cukup kuat saling menahan rasa egois dan masing-masing dari kalian saling terluka. Dan hal yang paling bodoh, kalian menganggap akhir sekolah sebagai alasan untuk pergi. Padahal kalian sendiri yang membangun istana kalian berdua dengan susah payah, tapi kalian sendiri yang menghancurkannya." Pernyataan Mona membuat Devit semakin bingung, apa yang sebenarnya Mona inginkan dari dia.

"Bukan gue yang ingin, tapi Fatimah yang meminta."

"Setidaknya kau sedikit jujur pada hatimu. Ketika kita pertama kali berjumpa karena acara bokap gue yang menyetujui kerjasama dengan bokap lo, yang sejak saat itu gue langsung suka sama lo. Dan nyuruh bokap gue untuk menjodohkan gue dengan lo, tapi nyatanya gue salah. Gue yang terlalu memaksa, gue tahu saat lo menerima perjodohan itu, hati lo terasa berat bahkan enggan untuk menjawab. Tapi dilain sisi, diri lo tak ingin mengecewakan bokap. Dan setelah lo menerimanya dan menjalaninya dengan gue, sama sekali tak pernah menunjukkan rasa sayang lo ke gue. Mungkin sudah saatnya gue pergi jauh untuk melepaskan apa yang tak seharusnya direbut."

Devit melotot tak percaya dengan kata-kata Mona barusan. Dan mengapa dia harus bersikap seperti itu?

"Baiklah terserah lo mau seperti apa, yang jelas gue kecewa sama lo. Sebab lo memakai kekuasaan bokap lo sebagai alat dari perjodohan."

"Dulu gue egois, tapi kali ini gue sadar. Lebih baik dicintai tanpa menyakiti, dari pada mencintai tapi terus disakiti."

"Maaf gue pamit, terimakasih telah memberi kesempatan lalu menjatuhkan. Semoga ke depannya, lo bisa mendapatkan Fatimah kembali." Jujur Mona dengan air mata yang ditahan.

*******
Jangan salahkan anak ketika anak tidak mencintai orang tua, sebab seorang anak akan melakukan timbal balik dari orangtuanya.
*******

Sedangkan di luar sana, Fatimah yang baru pulang sekolah harus siap mendengar ocehan ibunya kembali.

"Fatimah tuh lihat adik kamu baru pulang jam segini, sama kayak anak SMK. Katanya cari tempat teduh, mana ada cari tempat teduh tapi pulang basah kuyup dari atas sampai bawah. Bikin Mamah stress mulu. Biarkan dia cuci sepatunya sendiri biar tahu rasa, baru juga Mamah selesai cuci baju, malah ada lagi." Gerutu Rena yang kesal pada anak semata wayangnya. Fatimah hanya tersenyum tak menanggapi gerutu Mamahnya, Fatimah hanya meraih tangan Mamahnya itu untuk mencium punggung tangannya. Sebab itu sudah menjadi rutinitas Fatimah saat pulang maupun pergi sekolah. Dan tanpa berpikir panjang, Fatimah langsung menuju kamar agar terbebas dari ocehan Mamahnya yang membuat geram.

Analisa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang