Chapter 1 - Oh, Jadi Dia Lazuardi

272 27 4
                                    

Kelas XII IPS 3 terlihat ramai di jam-jam mendekati bel masuk. Seperti sebuah ritual siswa pada umumnya, mereka sibuk mencontek PR milik teman sekelas yang paling pintar. Bahkan kalau bisa, mereka meminjam tugas dari kelas lain jika anak paling pintar di kelas nggak menemukan jawabannya. Karena biasanya guru memberikan tugas yang sama di tiap-tiap kelas sehingga itu memudahkan mereka untuk menjiplak hasil perasan otak temannya.

Di antara gerombolan cowok yang berada di bangku paling pojok, terdapat Nuansa sedang berusaha menyibak kerumunan teman-temannya. Dia baru saja datang dan langsung ingin menjadi yang terdepan dalam menyontek.

"Eh, elu datang terakhir dapatnya juga terakhir!" protes Fery. Dia nggak terima karena tubuhnya didorong hebat oleh Nuansa.

"Gua japit mulut lu pake staples!"

Fery langsung nyinyir setelah mendengar perkataan kasar Nuansa. Bak seperti pergulatan di dalam ring tinju, mereka berdua saling dorong-mendorong untuk mendapat posisi terenak saat menyalin tugas. Mulut Nuansa tak henti-hentinya melontarkan makian yang menyebutkan seluruh isi kebun binatang. Bagi teman-teman yang berjenis kelamin cowok, berkata kasar itu hak siapa pun, sekali pun kata itu terlontar dari bibir seorang cewek. Sedangkan bagi teman Nuansa berjenis kelamin cewek, Nuansa adalah momok yang paling enggan mereka dekati, sekali pun suara Nuansa seperti bidadari turun dari kahyangan. Bisa ditebak kalau teman-teman Nuansa didominasi oleh manusia berjenis kelamin laki-laki. Yes, pertemanannya dengan cewek nggak pernah berjalan mulus, selalu ada cek-cok di antara mereka.

Saat sedang asyik-asyiknya mendorong Fery, tiba-tiba sebuah pesawat dari kertas melayang tepat mengenai dahi sebelah kirinya. Ujung pesawat kertas yang lancip aduhai itu mencium mesra dahi Nuansa hingga membuatnya meng-aduh.

"Siapa yang lempar-lempar ini?" Nuansa menebarkan pandangan setelah memungut pesawat kertas yang terjatuh ke lantai.

Teman-temannya yang masih sibuk dengan tugas masing-masing nggak menggubris pertanyaan Nuansa. Bukan Nuansa namanya kalau nggak menjadi bahan perhatian. Dia berdiri di atas kursi sambil bertolak pinggang.

"Woi, pada budek, ya? Siapa yang lempar-lempar ini?"

Seperti biasa, teriakan Nuansa membuat semua temannya berpaling. Mereka hanya melihat Nuansa tanpa memberi jawaban yang bisa memuaskan hatinya.

"Oke, nggak ada yang ngaku. Lihat aja kalau ketahuan.... "

"Gue." Sebuah suara memotong perkataan Nuansa.

Nuansa menoleh pada sosok jangkung yang tengah duduk santai di bangku dekat jendela, di seberang deretan bangku tempatnya berdiri.

"Nggak sengaja," tambahnya.

Nuansa terdiam sejenak untuk mengamati wajah cowok jangkung berkepala plontos itu. Bukan karena Nuansa terpesona dengan wajah itu, melainkan dia baru melihat cowok itu di kelas ini. Atau dia memang nggak begitu memperhatikan temannya satu persatu?

Wajah baru bukan berarti membuat Nuansa mengurungkan niatnya untuk memaki cowok itu. Dia berjalan melewati dua deretan bangku untuk mendekati cowok plontos itu. "Lo anak baru?" Pesawat kertas itu dilempar Nuansa ke atas meja.

"Nggak."

"Kalo gitu lo dari kelas lain terus pindah ke kelas ini?"

"Enggak juga."

Nuansa melipat tangan di depan dada. "Oke, gue nggak mau interview elo, entah elo anak baru, atau anak lama, gue nggak peduli. Yang jelas, kalo masa kecil lo kurang bahagia, mending elo balik ke TK, karena di sana lo bisa sepuasnya buat pesawat mainan model begituan. Asal lo tahu ...." Nuansa menunjuk dahinya yang sedikit perih. "Benda sekecil itu berdampak besar sama dahi gue. Lo lihat, 'kan?"

Nuansa Biru (SMA Trimurti Series) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang