Chapter 24 - He Lied

63 12 0
                                    


"Kak, aku numpang, ya."

Suara Dimas membuat Nuansa mematikan mesin motornya. "Motor kamu kenapa?"

Dimas melirik sekilas ke motor matic berwarna biru. "Lagi nggak enak badan, nih. Lagian nanti kan, ada pertunjukan masing-masing ekstra. Jadi harus hemat tenaga."

Mata Nuansa melihat satu tas yang berada di genggaman adiknya. "Kalau sakit nggak usah ikut."

Dimas berdecak. "Kak, aku ini masih kelas sepuluh. Nggak bisa seenaknya sendiri."

"Ya udah. Cepet-cepet!"

Jarang sekali bagi mereka pergi ke sekolah bareng. Biasanya mereka naik motor masing-masing dan pergi dengan jam sendiri-sendiri. Nuansa juga sebenarnya malas kalau bareng dengan Dimas. Tubuhnya yang kecil selalu kesusahan jika membonceng tubuh adiknya yang bongsor. Dia, adiknya dan kakaknya memiliki perbandingan ukuran tubuh yang begitu kontras, seolah-olah mereka bukan dari rahim yang sama. Meskipun begitu, mereka saling peduli satu dengan yang lain.

Sudah hampir tiga bulan Lazuardi pindah ke luar negeri dan hamper tiga bulan juga hubungan mereka berlangsung dengan sedikit kerikil yang membuat Nuansa jengkel. Nuansa nggak begitu puas dengan hubungan jarak jauh yang hanya dilalui dengan chat dan telepon dengan durasi yang singkat. Dia sempat menawarkan untuk menelepon terlebih dahulu karena tahu kalau biaya hidup di luar negeri jauh lebih tinggi daripada di Indonesia. Akan tetapi, Lazuardi melarangnya dengan alasan kesibukan yang menumpuk. Dengan terpaksa, Nuansa menerima itu dengan lapang dada dan berusaha mengerti.

Hari ini adalah hari mendekati liburan tengah semester. Setelah melampaui satu minggu lebih ulangan tengah semester, mereka dibebaskan oleh sekolah untuk mengisi waktu yang tersisa dengan acara yang bermanfaat. Kali ini anggota Osis menyelenggarakan unjuk kemampuan tiap ekstrakulikuler sekolah. Nuansa dan ketiga temannya sudah mempersiapkan jauh-jauh hari. Lagi pula mereka sudah lebih dari siap, mengingat intensitas mereka tampil di depan umum lumayan bayak akhir-akhir ini.

Seluruh siswa berkumpul di lapangan sekolah. Masing-masing anggota ekstra mempersiapkan diri sebelum nama mereka dipanggil untuk tampil. Satu per satu mereka dipanggil dan menunjukkan kemampuan mereka: basket dengan freestyle-nya, paskibra dengan formasi baris berbaris, cheerleader dengan tariannya dan masih banyak lagi.

Sebelum Romancious Band tampil, anak pecinta alam tampil terlebih dahulu. Dari kejauhan, Nuansa melihat adiknya sedang mempersiapkan diri, mengaitkan tali-tali ke tubuhnya. Dia memutus perhatian dari adiknya karena Puguh sudah menariknya untuk melakukan persiapan. Banyu sudah mulai menyetel gitar, Reno memukul pelan drum dan puguh berbincang dengan Nuansa.

"Jangan sampai ada yang miss, ya."

Nuansa mengibas tangan sekali. "Kayak lagi mega konser aja. Kita kan, nggak sekali-dua kali tampil kayak begini."

Puguh nyengir dengan mata yang sedang mencuri pandang.

Melihat gelagat aneh itu, Nuansa menaikkan satu alis. "Lo lagi ngincer siapa?"

Mata Puguh memelotot. "Dari mana lo tahu?"

Nuansa hanya nyegir kuda. "Dari mata lo, lah. Masa' gue harus nyanyi lagunya Jazz?"

Puguh tergelak. "Kalah Saiful Jamil yang selalu nya—"

Perktaaan Puguh terhenti ketika mendengar teriakan di tengah lapangan kemudian disusul suara benda jatuh berdebam. Sontak Nuansa memutar tubuh. Matanya langsung membulat ketika menyadari kalau Dimas nggak ada di papan wall climbing.

"Dimas!"

Nuansa langsung berlari ke tengah lapangan, menyeruak kerumunan para siswa yang mulai panik dan gaduh. Sendi kaki Nuansa melemas ketika menyaksikan adiknya tergeletak di atas tanah dan merintih kesakitan.

"Dimas!"

Teman-teman Dimas langsung berusaha mengangkat Dimas. Akan tetapi, Dimas semakin menjerit kesakitan. Nuansa benar-benar panik, berkali-kali dia mengambil ponsel dari sakunya, berkali-kali pula tangannya luput. Hingga pada akhirnya, beberapa guru datang dan langsung membawa Dimas masuk ke dalam mobil, membawa Dimas ke rumah sakit bersama Nuansa.

*****

"Dimas mana?!"

Suara Mama menyeruak indra pendengaran Nuansa. Dia langsung memeluk mamanya. "Masih di UGD, Ma. Nunggu Mama datang. Aku nggak tahu harus gimana."

Mama mengangguk paham dengan mengelus wajah Nuansa yang pucat. "Kamu tenang aja. Dimas masih sadar, 'kan?"

Kepala Nuansa mengangguk. "Masih, Ma. Keliatannya tangannya yang parah, Ma."

"Mama masuk dulu, ya."

Nuansa mengangguk, mengiringi kepergian Mama. Beberapa teman Dimas masih berada di depan ruang UGD bersama Nuansa. Mereka juga sama-sama cemasnya dengan Nuansa. Salah satu dari mereka mencoba menenangkan Nuansa dengan sentuhan karena mereka sendiri juga nggak tahu kata apa yang bisa menenangkan pikiran kakak Dimas

Tiba-tiba ponsel Nuansa berbunyi. Dia melihat nama Papa tertera di layar ponsel.

Nuansa pergi menjauh sebelum memerima panggilan. "Iya, Pa?" Dia sudah berada di pelataran rumah sakit. "Iya, Mama masih di ruang UGD." Dia terdiam sejenak. "Masih belum tahu. Papa di mana?"

Mata Nuansa menangkap satu sosok yang amat sangat ia kenal. Untuk apa Banyu ke sini? Apa dia juga khawatir dengan Dimas? Wajah Nuansa seketika memanas.

"Iya, Pa. Aku tunggu."

Tepat setelah panggilan Papa selesai, Banyu hanya berjalan melewatinya tanpa menoleh. Nuansa hendak memanggil Banyu, tetapi semua itu ia urungkan ketika melihat Tante Mira juga ada di sana. Dahi Nuansa semakin berkerut. Bukankah Lazuardi sudah pindah ke luar negeri? Atau Tante Mira nggak ikut ke sana?

Dengan mengabaikan keadaan adiknya, Nuansa memilih mengikuti Banyu dan Tante Mira masuk ke dalam rumah sakit. Dari jaraknya saat ini, dia bisa melihat raut sedih dari Tante Mira; mata bengkak, hidung merah dan rambut yang tak keruan begitu kentara dari wajah wanita cantik itu. Ekspresi seperti itu nggak jauh berbeda dengan ekspresi Banyu. Dia juga melihat ekpresi sedih dari cowok bermata cokelat itu. Apa yang sedang ia sembunyikan darinya?

Setelah melewati lobby rumah sakit yang masih ramai, mereka menaiki anak tangga yang menuju ruang VIP. Dan entah kenapa Nuansa begitu resah dengan sepekulasi yang bermunculan. Dia melihat Banyu dan Tante Mira masuk ke dalam ruangan yang terletak paling ujung dari lorong lantai dua ini. Setelah melihat mereka berdua masuk, Nuansa mendekati pintu yang tertutup rapat itu.

Mata Nuansa memandangi daun pintu berwarna cokelat dengan keingintahuan yang besar. Dia mengedarkan pandangan untuk memastikan lorong ini sepi sebelum menempelkan telinga ke daun pintu. Perlahan dia memasang pendengaran dan konsentarsi. Namun sayang seribu sayang, ponselnya berdering nyaring.

"Sialan!" maki Nuasa.

Dan seketika itu pintu terbuka. Banyu berdiri menjulang dari balik pintu itu. Ternyata benar dugaannya, ada Nuansa di sini. Dia tahu betul nada ponsel milik Nuansa hingga membuatnya membuka pintu secara refleks.

Mata Nuansa membulat saat mata cokelat itu menatapnya tajam. Lalu, ponselnya terjatuh ke atas lantai ketika ekor matanya melihat Lazuardi di sana. Tergeletak lemah, mata terpejam dan belalai medis mengelilingi tubunya. Jadi ... selama ini, dia berbohong.

Nuansa Biru (SMA Trimurti Series) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang