Chapter 23 - Rasa Bersalah

68 11 0
                                    


Langkah lebar Banyu terlihat Teresa saat menyusuri lorong rumah sakit. Hari ini dia terpaksa meminta izin pulang lebih dahulu demi memberi kabar kepada Lazuardi. Sebenarnya dia bisa saja memberi kabar tiba-tiba ini melalui ponsel, tetapi dia tahu kalau Lazuardi terlalu enggan memegang benda itu. Akhir-akhir ini sahabatnya itu lebih sering tidur dan lebih senang mendengarkan ceritanya: cerita tentang Nuansa di sekolah dan hari-harinya di sekolah.

Mata cokelat itu menangkap Tante Mira berlari-lari menuju apotek yang berada di lantai bawah rumah sakit ini. Wajah Tante Mira tampak pucat dan mata sembab yang membuat Banyu berpikiran tidak-tidak terhadap kesehatan lazuardi. Dia berjalan mendekati Tante Mira yang sudah meletakkan kertas resep di meja antrian.

"Tante."

Tante Mira mendongak. "Banyu." Suaranya begitu lirih dan serak.

"Kenapa Lazuardi?"

Tante Mira mengembuskan napas panjang kemudian bersedekap. "Seharian ini dia hanya tertidur, nggak kayak biasanya. Tante takut dia koma lagi." Tante Mira mengusap wajah gusar.

"Terus sekarang?"

"Syukurlah dia baik-baik aja. Kata dokter dia kelelahan dan baru saja bangun," Tante Mira terdiam sejenak. "Mungkin dia lelah memikirkan hidupnya yang hanya bisa ia habiskan di atas tempat tidur."

Banyu menggosok pelan lengan Tante Mira. "Lazuardi nggak kayak gitu, Tante. Dia punya semangat yang tinggi. Pasti dia akan lekas membaik."

Air mata Tante Mira mulai mengalir lagi. Lekas membaik? Kata-kata itu bagai angin surga yang berembus di teriknya matahari. Kata-kata itu hampir tidak pernah ada dalam pikiran Tante Mira dan Om Bima, tetapi selalu ada dalam pikiran Banyu.

Tante Mira melirik jam yang ada di sisi sebelah kanan ruang tunggu apotek. Pukul satu siang. "Kok, udah pulang?"

"Ada sesuatu yang mau aku sampaikan."

"Naik aja. Dia lagi sibuk ngegambar."

Banyu mengangguk. "Banyu tinggal dulu, ya, Tante." Dia mulai melangkah meninggalkan Tante Mira di apotek.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, dia sudah sampai di depan kamar rawat inap Lazuardi. Perlahan dia membuka pintu. Udara dingin dari pendingin ruangan menyambut kedatangan Banyu. Matanya menangkap Lazaurdi yang mengalihkan pandangan dari buku sketch. Wajah itu tersenyum sehingga menimbulkan lesung pipit ketika menyambut kedatangan sahabatnya. Banyu membalas senyuman itu sambil menutup pintu.

"Lo cabut?" Lazuardi meletakkan pensil di atas selimut.

Kepala Banyu menggeleng. "Gue izin pulang cepet karena satu hal?"

Dahi Lazuardi mengerut. "Satu hal? Lo nggak menstrusi terus tembus di celana, kan?"

Lazuardi selalu saja seperti ini, meskipun kondisinya nggak begitu baik. "Sialan lo! Gue punya batang!" tukas Banyu

Lazuardi tergelak mendengarnya. "Ada apa?"

"Nuansa."

Mata Lazuardi melirik ponsel yang tergeletak di atas nakas. Mendengar Nuansa mengingatakannya pada ponsel yang begitu enggan ia sentuh. Entah kenapa akhir-akhir ini dia merasa percuma menghubungi Nuansa. Bukannya dia bosan dengan Nuansa, melainkan dia lebih bahagia jika bertatap langsung dengan cewek itu. Jadi, dia lebih senang mewujudkan Nuansa dalam sketsa demi menumpahkan keimanan untuk bertemu. Kedamaian itu lebih terwujud ketika tangannya menggurat wajah cewek itu.

"Pulang sekolah dia bakalan nelepon elo."

"Hah?"

Banyu menyisir rambut frustrasi. "Ini salah gue!"

"Maksud lo?"

Banyu kebingungan harus memulai dari mana. "Gini ... gue ... gue ngasih kado ke dia dan mengatasnamakan lo sebagai hadiah anniversary sebulan kalian jadian."

"Kok, lo ...."

"Sori, gue minta maaf sama lo. Gue nggak bermaksud ngerebut dia dari lo melalui kado-kado itu. Cuma ... gue ngerasa lo kayak nggak ada gregetnya, Di."

"Itu urusan gue, Nyu. Mau gue ngasih kado apa enggak itu urusan gue!" Lazuardi membuka laci nakas dan mengeluarkan beberapa lembar kertas sketch. "Gue udah tahu apa yang bakalan gue lakukan untuk hubungan ini." Dia menyodorkan lembaran itu. "Gue bakalan ngasih ini kalau hubungan gue udah berjalan tiga bulan."

Banyu memegang lembaran-lembaran itu dengan tangan gemetar. Betapa bodohnya ia sampai melakukan hal itu. Dia mengira semua yang dilakukan nggak akan berbuntut panjang seperti ini, tetapi semua tiba-tiba menjadi serumit ini. Banyu merasa nggak enak dengan Lazuardi. Dia seperti seseorang yang sedang berusaha merebut pacar sahabatnya. Tetapi sungguh, nggak asa secuil pun pemikiran itu singgah di otaknya.

Tubuh Lazuardi beringsut ke dalam selimut. Dia merasakan pusing yang luar biasa.

"Di."

Lazuardi mengangkat tangan, memberi kode agar Banyu nggak berbuat apa pun.

"Lo nggak apa-apa?"

"Emangnya dia ngomong apa setelah lo kasih hadiah itu?"

Kepala Banyu menunduk lemas. "Dia bilang mulai sekarang dia yang bakal telepon lo duluan."

Lazuardi mengembuskan napas panjang. "Terus kalau keadaan gue kayak gini, gue harus jawab apa?"

Banyu benar-benar merasa bersalah, nggak menyangka kalau Nuansa akan berpikir sejauh ini.

"Gue bakal perbaiki ini semua, Di."

Mata Lazuardi memejam kemudian kepalanya menggeleng. "Nggak perlu. Biar gue yang kasih penjelasan.

"Maafin gue, Di."

Mulut Lazuardi nggak mengeluarkan sepatah kata. Dia lebih memilih tidur daripada mendengar permintaan maaf yang nggak akan bisa mengubah apa pun. Walaupun begitu, dia nggak pernah membenci Banyu. Dia tahu kalau maksud Banyu itu baik, tetapi keadaanlah yang nggak bersahabat.

*****

Banyu melirik ponsel Lazuardi yang menyala dan menampilkan pesan dari Nuansa.

"Nuansa kirim pesan."

Mata Lazuardi tertutup dan napasanya satu-satu. "Balas aja."

Banyu meraih ponsel di atas nakas. "Dia tanya lo ngapain?"

Lazuardi diam tak menjawab.

"Di, lo tidur?"

"Mulai sekarang lo aja yang bales ... gue ... gue untuk bernapas pun payah."

Hati Banyu mencelos mendengar kata-kata itu. Dia sebagai sahabatnya nggak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaiki kesehatan Lazuardi.

"Gue bales, ya."

Lazuardi mengangguk lirih, masih dengan mata terpejam.

Lazurdi : lagi ngerjain tugas.

Nggak lama kemudian pesan balasan masuk.

Nuansa biru : aku lagi males belajar.

Banyu menyunggingkan senyum. Dari dulu tuh cewek ogah belajar. "Dia lagi males belajar, Di." Banyu menyampaikan pesan dari Nuansa.

Lazuardi : tahun depan UN. Yang giat belajar, ya.

Banyu menghela napas panjang ketika ingatannya berkelana tentang hubungan seumur jagung itu. Sebuah hubungan yang kandas karena ketidaksabarannya.

Lazuardi : aku rindu.

Tanpa sadar Banyu mengetik kata-kata itu. Dia terus menatap ponsel dengan pandangan nanar. Akalnya sudah melupakan bahwa ini adalah ponsel Lazuardi.

Nuansa Biru : aku juga kangen kamu, Di. Kapan kamu ke Indonesia?

Bolehkah Banyu berbohong untuk kebahagiaannya?

Nuansa Biru (SMA Trimurti Series) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang