Chapter 28 - Seperti Mimpi

102 15 0
                                    

"Beneran?" Mata Nuansa membelalak tak percaya.

Tante Mira mengembangkan senyum dengan air mata yang menetes.

"Doakan semoga semua lancar, ya." Wajah Om Bima berseri.

"Tentu aja, Om. Ini yang aku harapkan selama bertahun-tahun. Bukan hanya Om sama Tante aja." Banyu berjalan mendekati Lazuardi yang tersenyum tipis. Dia memukul pelan lengan sahabatnya itu. "Bentar lagi lo sembuh, Bro!"

Lazuardi hanya mengangguk. Entah kenapa kabar baik ini nggak bisa membuat hatinya tenang. Seharusnya dia bisa berjingkrak gembira ketika dokter memberi kabar bahwa ada pendonor memiliki ginjal yang cocok dengannya. Akan tetapi, kabar itu membuatnya resah.

"Senyum dong!" Nuansa melihat kejanggalan dari wajah pacarnya. "Kamu nggak suka kalau satu kampus denganku?"

"Apa yang kamu pikirkan, Nak?" Tante Mira berjalan mendekat. "Papa memilih operasi di Singapura agar semua berjalan dengan lancar."

"Nggak tahu kenapa, aku pengen dioperasi di sini, Ma."

Om Bima bangkit dari sofa. "Bukannya Papa nggak percaya sama dokter di sini, tapi Papa ingin yang terbaik buat kamu, Nak."

"Udahlah, Di. Percaya dengan kedua orangtua lo. Nggak mungkin mereka mencelakakan anaknya sendiri.

"Kamu pasti pulang dengan sehat!" Nuansa terlihat paling bersemangat.

Tante Mira menepuk pelan kedua pipi Lazuardi. "Semangat, ya, Sayang."

"Papa sama Mama mau urus administrasi kepindahanmu. Kemungkinan dalam tiga hari ini kita bisa langsung berangkat."

"Titip sebentar, ya." Tante Mira berpamitan kepada Banyu dan Nuansa.

Mereka berdua berjalan keluar dan menghilang dari balik pintu itu. Banyu mengambil gitar bolong yang ia letakkan di kaki sofa kemudian duduk di tepian tempat tidur Lazuardi.

"Kita rayakan dengan nyanyian. Lo mau lagu apa?" tanya Banyu.

Lazuardi memutar bola mata ke atas. "Gue ... gue pengen denger lagu jatuh hati punya Raisa." Kepalanya menoleh ke arah Nuansa yang duduk di kursi besi. "Lagu yang bisa membangunkanku dari koma. Aku pengen denger suaramu yang nyanyi lagu itu sebelum aku menutup mata lagi."

Raut bahagia Nuansa seketika itu luntur. Perkataan Lazuardi terdengar pilu dan ... entahlah. Nuansa nggak mau berpikiran negatif.

"Oke, kita mulai!"

Nuansa terkesiap mendengar suara Banyu yang sedikit tinggi. Sepertinya Banyu nggak mau terhanyut dengan perkataan Lazuardi. Jemari cowok bermata cokelat itu mulai menari-nari di atas senar dan tidak lama kemudian suara lembut Nuansa berdengung. Lazuardi memejamkan mata dengan senyuman lebar. Dia menikmati setiap nada dan suara yang memenuhi gendang telinganya. Akhirnya dia bisa mencecap kebahagiaan yang sesungguhnya. Ini yang ia inginkan setelah bangun dari koma.

Hubungan Banyu dan Nuansa berjalan seperti teman pada umumnya. Perkara yang mengganjal di antara mereka sudah tuntas dan nggak ada lagi rasa yang tertinggal di hati Nuansa. Akan tetapi, nggak bagi Banyu. Dia bukan tipe orang yang mudah melupakan rasa. Nuansa masih berkuasa. Cowok itu sadar bahwa dia nggak cukup baik untuk Nuansa. Dia meninggalkan Nuansa begitu saja hanya karena hal yang sepele. Banyu cukup tahu diri dan berusaha menjaga jarak antara dia dan Nuansa, meskipun nggak ada lagi tembok pemisah.

Untuk hati Nuansa. Dia sudah meninggalkan Banyu di belakang tanpa ada keinginan untuk menoleh. Banyu adalah masa lalunya. Banyu sudah mengalir jauh dari hulu hatinya. Banyu adalah sosok yang mengantarkannya pada Lazuardi. Mengantarkannya mengenal sosok cowok yang berkharisma, baik hati, kuat dan juga jujur dengan dirinya sendiri. Nuansa kagum dengan Lazuardi dan dalam sekejap, cowok itu bisa mendepak Banyu dari hatinya. Dia yakin kalau cowok itu nggak akan melukai hatinya seperti yang dilakukan Banyu. Move on nggak segampang ngupil, tetapi move on bisa jadi segampang ngupil kalau ada keinginan untuk membersihkannya. Yah ... semuanya akan mudah kalau ada niat.

Nuansa melihat jam di ponsel sudah menunjukkan pukul lima. "Udah mau maghrib, nih. Aku mau pulang dulu, ya." Dia bangkit dari kursi, mengambil tas yang tergeletak di atas sofa. "Bentar lagi liburan semester satu."

"Kalau dihitung-hitung pas waktunya Lazuardi pulang dari Singapura," tambah Banyu.

"Yap." Nuansa menghampiri Lazuardi. "Gimana kalau kita nge-date?!"

Banyu berdecak. "Orang baru sembuh udah diajak nge-date!"

Nuansa melirik. "Sirik lo! Emang lo mau jadi obat nyamuk?"

"Sekarang aja udah jadi obat nyamuk." Banyu melipat tangan.

Lazuardi tertawa lebar mendengar pertengkaran mereka. "Udah-udah. Kalian ya, kalau nggak bertengkar nggak afdhol."

Nuansa mencibir ke arah Banyu kemudian meremas pelan tangan itu. "Semangat, ya. Aku pulang dulu. Besok pulang sekolah aku balik lagi."

"Hati-hati di jalan."

Banyu berdeham "Apa perlu aku keluar biar kalian bisa.... " Dia memaju-majukan mulut.

"Ih ... apaan, sih?"

"Emangnya aku nggak liat waktu kalian.... "

"Aku pulang dulu." Nuansa memotong perkataan Banyu ketika malu itu melanda. "Dadah ... dadah semuaya." Dia pergi dengan lambaian tangan hingga suara pintu kamar berdebam.

Banyu terkikik melihat Nuansa yang salah tingkah. "Lucu juga tuh, anak."

"Dia emang lucu. Lo aja yang selalu cari salahnya."

Tawa Banyu meluntur. "Udah, ya. Gue nggak mau bahas yang dulu-dulu."

"Gue cuma pengen lo belajar memahami dia lagi, Nyu."

"Lo ngomong apa, sih? Lo mau gue selingkuh sama dia?"

Lazuardi menggeleng. "Gue mau lo jagain dia."

"Benta lagi lo sembuh dan itu tugas lo. Bukan gue."

Lazuardi mendesah resah. "Entah kenapa gue nggak yakin sama operasi itu, Nyu. Entah kenapa gue merasa kalau gue udah bahagia seperti ini. Semua ini udah kayak mimpi bagi gue. Tuhan udah ngasih gue kesempatan untuk bahagia."

"Jangan ngelantur kalo ngomong."

"Nyu ... " Suara Lazuardi membuat hening seketika. "Lo mau janji sama gue."

Banyu mengembuskan napas berat. "Udah, Di. Gue nggak mau denger omongan ngelantur dari lo. Mending sekarang lo istirahat karena abis ini lo mau cuci darah."

"Nyu, please. Denger gue." Banyu terdiam dan menatap lurus wajah sahabatnya. "Kalau ada apa-apa sama gue tolong jaga orangtua gue kayak lo jaga orangtua lo. Jaga juga Nuansa kalau bisa lo balikan lagi sama dia."

Banyu menggeleng hebat. "Lo pasti sembuh."

"Nyu."

"Gue nggak mau denger lagi." Banyu bangkit dari posisi.

"Gue serius, Nyu."

"Nggak, Di. Udah gue cabut." Banyu mulai melangkah.

"Gue udah ngerasain kalau waktu gue nggak panjang lagi. Jadi gue minta lo dengerin gue, Nyu!"

Banyu mencengkeram erat knop pintu.

"Hanya lo yang bisa gue percaya."

"Gue pulang dulu, Di. Selamat sore."

Perkataan Banyu menghilang seiring hilangnya tubuh itu dari balik pintu. Ruang itu hanya menyisakan Lazuardi yang bergelut dengan keresahan. Semoga yang ia rasakan adalah kesalahan.

Nuansa Biru (SMA Trimurti Series) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang