Chapter 15 - Komitmen Nuansa

55 9 0
                                    


"Nggak, lo nggak boleh datang."

Lazuardi menghela napas berat. "Lo udah kayak orangtua gue yang suka ngatur-ngatur." Dia menatap jalanan melalui kaca mobil.

Pandangan Banyu masih menatap lurus tanpa menoleh sedikit pun. "Gue bukan kayak orangtua lo, tapi gue ngerasain kekhawatiran yang sama kayak orangtua lo! Di, acaranya itu malam hari, lo mau datang dengan kondisi lemas? Emang lo kuat?" Kali ini Banyu menoleh ke Lazuardi.

"Gue nggak mau cuci darah."

Banyu hampir saja menginjak rem saat mendengar perkataan itu. "Lo mau mati?!"

"Menurut gue, nggak cuci darah sehari nggak akan berpengaruh."

"Lo bukan dukun yang bisa memprediksi kesehatan."

"Tapi gue bisa ngerasain tubuh gue. Pokoknya gue harus datang."

"Gue nggak setuju."

Lazuardi memutar tubuh hingga menghadap Banyu. "Gue butuh batuan lo."

Mata Banyu berputar ke atas. Sahabatnya ini memang keras kepala!

"Please, Nyu. Bantu gue. Dia sengaja ngundang gue, itu berarti ... gue masih ada harapan di hatinya."

Banyu hanya terdiam. Masih ada harapan? Ya ... Banyu merasa Lazuardi masih memilki harapan di hati Nuansa. Sedangkan dia, nggak ada sama sekali.

"Gue mau nembak dia." Lazuardi dapat melihat jakun Banyu yang naik-turun setelah mendengar perkataannya. Dia bukan manusia bodoh yang nggak ngerti gelagat sahabatnya sendiri, dan dia bukan cowok goblok yang nggak ngerti arti tatapan Nuansa. Namun, dia hanya ingin memastikan satu hal sebelum memutuskan hal yang terbesar dalam hidupnya.

"Emangnya dia mau nerima lo begitu aja? Lo baru kenal sama dia, Ardi."

Lazuardi menghadap ke depan sambil melipat tangan. "Jawaban nggak harus saat itu juga,'kan? Gue cuma pengen dia tahu perasaan gue."

Suasana di dalam mobil itu menghening. Hanya ada suara penyiar radio yang mengudara di dalam mobil itu.

"Oke, gue bakal bantuin lo."

Sebuah senyuman mengembang di bibir Lazuardi.

"Gue yang akan cari alasan ke Tante Mira. Tapi lo janji," Banyu menoleh ke Lazuardi, "lo harus bisa jaga kondisi lo."

Lazuardi mengangguk mantap. "Gue janji."

*****

Berkali-kali mata Mama melirik ke arah Nuansa saat makan malam tadi. Setelah membereskan peralatan makanan dari meja makan, Mama menyuruh Nuansa untuk menemaninya di dapur. Nuansa yang sedang nggak berselera untuk mengerjakan tugas sekolah hanya menurut dan membantu meletakkan piring ke tempat asal.

"Gimana sekolah hari ini?"

Batin Nuansa menebak bahwa Mama mengetahui masalahnya. "Baik dan Nuansa lagi nggak punya masalah, Ma."

"Sebegitu rahasianya masalah itu sampai kamu nggak mau cerita ke Mama. Soal Banyu? Dia minta balikan?"

Muka Nuansa berubah menjadi masam ketika mendengar nama itu disentil. "Nggak ada hubungannya, Ma."

"Terus?"

"Ma ...."

"Lagi jatuh cinta sama yang lainnya mungkin, Ma." Citra tiba-tiba ikut nimbrung. Dia duduk di kursi plastik sambil menggigit apel yang baru saja ia ambil dari kulkas.

Sontak Nuansa memutar tubuh dan matanya mendelik. "Nggak usah so—maksud aku, jangan terlalu mencampuri urusan orang lain." Dia harus konsisten dengan perubahannya demi hidup yang lebih baik. Nuansa hanya nggak mau dicap cewek brutal hanya karena mudah emosi dan ngomong kasar. Dan selayaknya manusia berakal, bahwa perubahan untuk menjadi lebih baik harus meningkat di setiap tahunnya. Nuansa sedang belajar dalam hal ini.

Terlihat dengan jelas kalau Citra menahan tawa dengan mulut yang penuh apel. Sabar ... sabar .... Nuansa mencoba mengembangkan senyum ke arah Citra.

"Bener itu, Sa?" Mama semakin penasaran.

"Enggak, Ma ...,"—Nuansa mengembuskan napas dan menyerah—"gini, Nuansa cuma ... malu."

Kali ini Mama sepenuhnya menghentikan kegiatan mengelap piring. "Soal?"

"Pantes nggak sih, kalau ngajak temen datang ke acara pentas seni?"

"Pantes aja," celetuk Citra, sedangkan Nuansa hanya mencebikkan mulut.

"Pasti habis ngajak teman cowok buat datang, ya."

Nuansa terlihat gelagapan. "Eng-enggak, kok, Ma. Temen cewek."

"Sejak kapan kamu punya temen cewek. Dimas nggak pernah cerita, tuh."

Ah, sialan! Inilah ruginya kalau mempunyai adik yang bersekolah di sekolah yang sama. Bukannya malah untung, tapi malah buntung. Mulut adiknya yang super kepo itu mampu menjadi informan paling akurat untuk seluruh anggota keluarga ini.

"Em ... Citra tahu. Pasti gara-gara cowok itu kamu berubah drastis kayak gini, ya." Mata Citra menyipit. "Mama pasti takjub lihat perubahannya."

"Dan Mama lebih takjub lagi liat kamu mau ngobrol bareng sama Nuansa. Biasanya kamu paling alergi sama dia."

Citra nyengir kuda mendengarnya. Memang benar kata Mama. Sejak melihat tingkah manis Nuansa beberapa hari yang lalu sanggup membuat hati Citra meluluh dan meruntuhkan tembok pembatas antara dirinya dengan adiknya sendiri.

Mama membelai rambut Nuansa dengan lembut. "Kamu lihat sendiri, kan. Keajaiban akan terjadi kalau kamu mau berbuat hal yang lebih baik lagi. Bukan berarti kamu nggak baik, hanya saja masih banyak yang harus perbaiki agar orang di sekitarmu merasa nyaman."

Senyum Nuansa mengembang lebar. Wanita paruh baya ini selalu menjadi sosok yang menenangkan baginya.

"Intinya ... pantes aja kamu ngundang temen untuk datang ke acara pentas seni. Sekalipun itu cowok."

Mata Nuansa membulat. "Jadi nggak masalah, ya, Ma."

"Tuh, kan. Pasti dapet gebetan baru, nih, anak."

Baru saja mulut Nuansa ingin membalas ucapan kakaknya, tetapi semua itu ia urungkan demi komitmen perubahan ke arah yang lebih baik. Mama tersenyum bahagia melihat perubahan itu. Siapa pun itu, yang jelas Mama begitu berterima kasih dengan seseorang yang mampu mengubah cara berpikir anaknya.

Nuansa Biru (SMA Trimurti Series) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang