Chapter 7 - Pesawat Kertas

111 23 3
                                    

Kemeja batik dan rok abu-abu terlempar dengan kasar mengenai wajah Nuansa. Mata Nuansa langsung terbuka dan tubuhnya terlonjak kaget.

"Molor mulu!"

Mata Nuansa mengerjap berkali-kali saat melihat keberadaan Citra di kamarnya. "Sialan!"

"Elo yang sialan!" Makian Citra terdengar lirih. Sebisa mungkin makian kasar dari mulutnya nggak terdengar hingga ke luar kamar Nuansa.

Nuansa menyingkirkan seragam batiknya. "Kalo mau bangunin nggak usah lempar-lempar kali. Elo nggak tahu semalam gue ada kerjaan. Makanya jangan pacaran mulu!"

Citra bertolak pinggang dengan wajah kesal. "Gue nggak buta. Tujuan gue ke sini bukan bangunin elo. Jadi nggak usah geer, ya. Gue lebih seneng lo dimarahi Bokap."

"Nggak usah curcol. Kalo kesel ama gue ya udah pergi sana, yang jauh sekalian!" Nuansa menyibak selimut kemudian mendorong tubuh Citra ke ambang pintu.

"Eh denger ya bocah tengil. Cuci sendiri baju seragam lo, jangan dicampur sama baju-baju gue. Untung mata gue jeli. Kalo enggak, bisa ikutan baju lecek itu ke mesin cuci." Mulut Citra nggak berhenti mengomel, meskipun kehadirannya nggak diinginkan Nuansa.

Citra adalah cewek paling feminim di keluarga ini. Kehadiran Nuansa nggak bisa menandingi gaya centil cewek satu ini. Rambut panjang sepinggang, tubuh mulus dan muka kinclong yang dimilikinya sanggup membuat Nuansa eneg melihatnya. Secara, Nuansa nggak suka dengan tipe cewek seperti Citra, lagi pula hubungannya dengan para cewek nggak pernah berjalan mulus.

"Pakai mesin cuci aja mulut udah ngomel kayak burung beo! Coba pakai tangan, malah dol tuh mulut!" Mata Nuansa membelalak.

Amarah Citra semakin meninggi. "Gue bilangin Papa. PAPA ... m.... "

Nuansa langsung membungkam bibir Citra dengan sigap. Dia nggak mau dimarahi Papa pagi-pagi. Masa' melek mata langsung sarapan omelan?

"Sorry, sorry, Kak. Aku khilaf. Maaf ya ... ya?"

Kedua tangan Citra menarik bungkaman Nuansa. Wajahnya sudah merah padam. "Baik-baik lo sama gue. Gue aduin tahu rasa!"

Dia langsung melenggang pergi dengan kaki yang dientak-entak. Sedangkan Nuansa mengangkat kedua tangannya di udara dengan jemari yang mencengkeram. Dia ingin sekali menarik rambut kuntilanak itu untuk melampiaskan amarah. Nuansa nggak pernah akur dengan kedua saudaranya, tetapi dia lebih dekat dengan adiknya. Intensitas pertengkarannya dengan Dimas lebih sedikit dibanding pertengkarannya dengan Citra. Nuansa lebih banyak bertukar pikiran atau bersenda gurau dengan Dimas. Baginya, Citra adalah ranah haram untuk diajak ngobrol. Nuansa nggak suka dengan gaya centil Citra yang menurutnya kelewat batas!

Nuansa langsung menutup pintu. Untuk beberapa saat dia melihat gagang pintu dengan sebuah penyesalan. Kenapa dia nggak mengunci pintu kamarnya semalam? Acara bangun siangnya terganggu oleh kuntilanak satu itu. Setelah mengunci pintu, Nuansa langsung berbalik dan menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Matanya menatap gorden biru yang mulai diterobos cahaya matahari. Dia ingin sekali kembali tidur, tetapi matanya sudah nggak ngantuk lagi.

Otaknya kembali mengingat peristiwa kemarin; acara manggung yang sukses, petikan gitar Banyu, senyuman Banyu yang dilempar untuknya. Semua terasa menggetarkan hati, seolah-olah hubungan mereka baik-baik saja. Tiba-tiba sebuah tatapan tenang nan menghanyutkan singgah di dalam ingatannya. Nuansa masih ingat dengan tatapan Lazuardi yang enggan berpindah darinya, sikap Lazuardi yang hangat saat memakaikan pita, dan...

"Argh!" Nuansa mengacak rambutnya saat mengingat perkataan Lazuardi. Dia langsung bangkit dan berdiri di depan cermin. "Manusiawi? Manusiawi? Emangnya selama ini gue apa? Hewan? Minta dimutilasi cowok botak itu!" Nuansa memutar tubuh dengan kepala mendongak. "Kenapa dia ngehina gue di waktu yang nggak tepat? Gue nggak sempet maki dia!"

Nuansa Biru (SMA Trimurti Series) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang