Chapter 3 - Best She Ever Had

149 27 0
                                    

Ingus lo bikin gue jijik.

Nuansa terus memandangi cermin yang berada di kamar. Hidung yang lancip di bagian ujung itu ia naik-turunkan. Terkadang lubang hidung itu ia sibak dengan jari telunjuk. Apa benar dia terlihat menjijikkan saat menangis? Bukankah seorang cowok selalu tersentuh saat melihat cewek nangis? Tapi kenapa cowok sok itu bilang jijik? Cowok itu selalu datang di saat yang nggak tepat sehingga kesempatannya untuk memaki hilang begitu saja. 

Sebuah senyum terbit di bibir Nuansa saat menyadari kalau pertemuan itu bukanlah pertemuan yang terakhir. Bukankah dia masih mempunyai banyak kesempatan untuk membalas cowok sok itu? Sungguh brilian!

Ponsel Nuansa berdenting satu kali. Dia langsung meraih ponsel kemudian menyentuh gambar berwarna hijau. Dahinya berkerut saat melihat nomor asing mengirim pesan kepadanya. Namun, wajahnya berubah masam saat membaca pesan dan melihat foto profil si pemilik nomor itu. Lazuardi. Iya, pesan itu berasal dari Lazuardi, dan isinya tentang sebuah perintah untuk mencari artikel tentang tugas ekonomi yang diberikan Bu Yayuk tadi siang. Padahal jangka waktu untuk mengumpulkan masih panjang, tetapi cowok ini sudah ribut dengan tugas itu. Nuansa mengembuskan napas panjang, seharusnya dia juga ikut protes saat Bu Yayuk mengumumkan pengelompokan itu.

Jemari Nuansa mengetik dengan penuh emosi, ditambah lagi bibir yang mencebik kesal. Ponsel itu langsung dilempar ke atas kasur setelah mengetik pesan balasan. Tapi tunggu dulu, dari mana Lazuardi tahu nomor WA-nya? Nuansa berputar dan memandangi ponsel yang layarnya sudah menggelap. Dia sama sekali atau belum pernah berhubungan dengan Lazuardi. Bahkan nggak ada yang tahu nomor WA-nya kecuali teman-teman satu band. Atau Lazuardi tadi sempat tanya-tanya ke Puguh tentang nomor WA-nya? Kalau iya, lihat saja besok apa yang akan terjadi dengan Puguh. Persetan dengan jabatan ketua band yang disandang cowok itu.

"Nuansa, makanan udah siap. Turun ke bawah, gih." Suara Mama memecah pergulatan batinnya. Dia langsung membuka pintu dan melihat Mama sudah menuruni tangga.

Makan malam bersama adalah jadwal rutin yang harus dilakukan oleh setiap anggota keluarga yang ada di rumah ini. Jika ada salah satu dari anggota keluarga yang nggak turun dengan alasan yang nggak tepat, maka bisa dipastikan Papa akan mengamuk dan memotong uang jajan. Itu adalah bencana besar yang harus dihindari sebisa mungkin. Jadi, meskipun Nuansa sedang nggak mood untuk makan, dia harus tetap turun dan menyantap makanan yang sudah disiapkan Mama.

Dari ujung tangga bagian atas, dia bisa melihat kakak perempuannya sudah duduk manis di ruang makan. Kedua tangan mulusnya terlipat ke depan dan bisa dipastikan dia sedang mengembangkan senyum palsu untuk merayu Papa.

"Aku lapar!" Tepat setelah suara itu berkumandang, tubuh bagian belakang Nuansa seperti didorong seorang algojo.

Mata Nuansa langsung mendelik saat melihat adiknya tersenyum mengejek ke arahnya sambil membenarkan kacamata. "Mata lo taruh mana?!" bentak Nuansa kepada adiknya yang masih duduk di kelas X.

"Nuansa!" Suara Papa menggelegar dari lantai bawah. Matanya melotot tak keruan ke arah Nuansa.

Nuansa hanya mengembuskan napas panjang sambil menuruni tangga tanpa berani membalas tatapan papanya.

"Jadi anak cewek itu yang penuh sopan santun!" hardik Papa.

Nuansa menarik kursi, dan melemparkan pantatnya ke kursi setelah menuruni tangga. Sudut matanya melirik ke arah kedua saudaranya yang seolah-olah senang melihatnya dimarahi.

Mama hanya menatap nanar ke arah Nuansa.

"Iya, maaf," ucap Nuansa sambil membuka piring yang tertelungkup.

"Papa udah berapa kali bilang ke kamu supaya ngatur ucapan. Masa' anak cewek ngomongnya kasar! Dimas aja yang cowok nggak pernah maki saudaranya kayak gitu!" Kali ini Papa membandingkan dirinya dengan adiknya yang baru jadi anak SMA.

Nuansa Biru (SMA Trimurti Series) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang