Epilog

153 23 0
                                    

Keajaiban. Masih adakah keajaiban itu?

Aku nggak pernah percaya dengan keajaiban itu, sekalipun banyak yang bilang kalau keajaiban itu ada.

Berkali-kali aku menyanyikan lagu kesukaannya, berkali-kali pula aku menelan kekecewaan. Dia nggak pernah kembali lagi.

Ada ruang hatiku kini kau temukan.

Sempat aku lupakan kini kau sentuh.

Aku bukan jatuh cinta namun aku jatuh hati.

Ku terpikat pada tuturmu aku tersihir jiwamu.

Terkagum pada pandangmu caramu melihat dunia.

Ku harap kau tahu bahwa ku terinpirasi hatimu.

Ku tak harus memilikimu tapi bolehkah ku selalu di dekatmu....

Bahkan untuk selalu di dekatnya saja adalah sebuah sebuah hal yang mustahil. Aku nggak menyangka hari itu adalah hari di mana aku mengantarnya pergi untuk selamanya. Semua angan tentang kencan berdua bersamanya hancur berantakan. Semua di luar ekpektasi. Angan itu menyublim begitu saja. Aku menyambutnya dengan tangis yang menderai-derai seperti sebuah pemain sinetron yang handal. Aku sempat menyanyi di dekat tubuhnya yang terpejam, tetapi ... dia tetap nyenyak di dalam tidurnya. Dadaku begitu sesak menerima kenyataan bahwa dia pergi untuk selamanya. Operasi itu gagal total. Bukan karena teknologi yang nggak memadai, bukan karena dokter yang nggak handal, melainkan tubuhnya memberi penolakan.

Apakah arti bahagia baginya hanya sementara?

Apakah dia cukup puas mencecap kebahagiaan yang hanya berumur dua bulan?

Bagiku itu nggak cukup, tetapi baginya, itu sudah lebih dari cukup.

"Sa." Suara Banyu membuyarkan lamunan Nuansa.

Cewek bertubuh mungil itu tersenyum. "Bentar."

"Lagi ngapain sih, lo. Buruan, band kita bentar lagi tampil.'

Nuansa membenarkan letak pita di rambutnya. Ia elus rambut itu dengan batin yang seolah-olah berbincang bersama Lazuardi. Banyu tersenyum miring melihatnya. Dia cukup tahu apa yang sedang dilakukan Nuansa. Dia berjalan menghampiri Nuansa kemudian mengacak rambutnya.

"Banyu!" Mata Nuansa mendelik tak keruan.

Banyu hanya terbahak kemudian lidahnya menjulur.

"Sialan lo!" Tangan Nuansa melempar lembaran kertas yang berada di tangan satunya hingga mengenai wajah cowok itu.

Banyu tetap terbahak, tetapi kali ini berjalan mundur. "Buruan, nggak usah sok kecentilan! Tuh temen-temen nunggu band kita sebagai salam perpisahan!"

"BANYU SIALAN!"

Ada sebuah kebiasaan baru yang akhir-akhir ini aku sukai selain bermain gitar. Kebiasaan itu adalah mengoda Nuansa. Aku nggak menyangka kalau menggoda cewek satu itu lebih menyenangkan daripada memetik senar gitar. Wajah memerah dan mulut mengerucut itu semakin membuatku berbuat di luar batas normal, menjadi-jadi.

Aku berharap semua yang aku lakukan saat ini padanya bisa membuatnya sedikit terhibur. Aku nggak mau dia terus terhanyut dengan kesedihan sejak kepergian Lazuardi enam bulan yang lalu. Sudah dua kali ini aku melihatnya menangis sesenggukan. Kali ini aku berjanji kalau aku nggak akan membiarkannya menangis. Aku akan berusaha memenuhi keinginan terakhir Lazuardi. Aku akan menjaga orangtuanya dan juga kekasihnya.

Untuk sahabatku Lazuardi, berbahagialah Teman. Aku di sini akan menjalankan peran yang kamu minta. Menjaga Nuansa di birunya hatimu.

Nuansa Biru (SMA Trimurti Series) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang