Chapter 2 - Move On Itu Nggak Segampang Ngupil

172 29 6
                                    

"Sa, duduk sini napa!"

Reno nggak tahan melihat Nuansa sedari tadi duduk di kursi yang ada di pojok ruangan. Tubuh mungil itu terlihat nyempil di balik drum yang berukuran besar. Nuansa memiliki tujuan sendiri saat duduk di tempat paling terpencil di ruangan ekskul. Satu, karena tepat di meja yang sedang dikerumuni tiga orang temannya adalah tempat di mana Banyu mutusin hubungan seumur jagung mereka. Dua, dia nggak mau berdekatan dengan Banyu yang notabene teman satu band-nya. Ketiga, jantungnya mirip kodok yang lagi jumpalitan saat berdekatan dengan Banyu, dan bisa dipastikan kalau hal itu akan mempengaruhi tingkah lakunya. Dan yang terakhir, keempat, dia malas mendengar ceramah teman-temannya tentang kandasnya hubungan ini.

Puguh menangkap gelagat aneh dari Banyu dan Nuansa. "Kalian putus atau lagi bertengkar?"

Banyu hanya buang muka tanpa membuka mulut sama sekali.

Reno berdecak melihat tingkah Banyu, "Gue udah bilang sama kalian kalau pacaran sama anak satu band itu bisa berabe. Nah, bener kan, kata gue."

"Kita emang putus, tapi gue bisa kok profesional. Nggak tahu lagi kalau dia," sergah Banyu.

Mata Nuansa langsung menatap tajam punggung Banyu. "Gue bisa, kok."

"Terus ngapain lo duduk di sana?" timpal Reno.

"Gu-gue ... lagi pengen aja duduk sini. Lagian kita lagi ngebahas lagu yang bakal dipakai buat pensi SMA Sejahterah, 'kan? Emang harus ya, duduk di sana? Kayak rapat kantoran aja!"

"Udah, nggak apa-apa kalo lo duduk di situ. Asal lo denger kita lagi diskusi tentang apa." Puguh menegakkan badannya. "Dan untuk pensi SMA Sejahterah, mereka punya tema jazz." Puguh mengeluarkan proposal dari dalam tasnya.

Reno meraih proposal yang dibalut sampul plastik itu. "Lagu jazz banyak, tapi yang cocok buat karakter suara Nuansa itu yang mana?"

"Pakai lagu apa dulu, nih, maksudnya ... Barat atau Indonesia?" tanya Puguh.

"Barat aja," sela Nuansa, "kayaknya anak-anak jaman sekarang lebih familiar sama lagu luar negeri."

"Kalo gue lagu Indonesia. Lagu-lagu Indonesia banyak yang bagus kok. Nggak usah sok kebarat-baratan." Banyu mengeluarkan pendapat tanpa menoleh ke belakang.

"Siapa yang sok kebarat-baratan? Gue kan ngasih pendapat berdasarkan pengamatan. Bukan karena gue tergila-gila sama lagu luar negeri. Kalo ngomong nggak usah pake nyindir bisa nggak? Kayak lo nggak suka lagu barat aja!" Lo lupa kalo mutusin gue pakai lagu barat? Kalimat itu sebenarnya ingin ia lontarkan untuk melanjutkan perkataannya. Akan tetapi, kalimat itu tersumpal begitu saja di ujung bibirnya.

Banyu memutar tubuh. Nuansa langsung menelan ludah saat mata cokelat itu memerangkap maniknya. Bibir bawah tebal kemerahan itu merekah hingga membuat darahnya berdesir. Masih ada, rasa itu masih ada. Nuansa terlalu banyak melibatkan hatinya dalam hubungan yang hanya berlangsung satu bulan itu.

"Siapa yang nyindir? Elo aja yang kelewat sensitif!" balas Banyu.

Nuansa langsung bangkit dari duduk. Dia ingin sekali membalas perkataan Banyu, tetapi tatapan mata itu sanggup membuatnya menelan perkataan yang akan terlontar.

"Udah, jangan bertengkar. Kita ...."

"Gue mau pulang!" Nuansa memotong perkataan Reno. Dia menyampirkan ransel ke bahunya. "Kalian diskusiin sendiri aja. Nggak usah peduliin gue!"

*****

Angin mempermainkan lembaran-lembaran kertas folio yang tengah berada di dalam genggaman sang pemiliknya. Seolah tak menghiraukan angin yang berembus, tangan itu tetap menggoreskan pensil di atas lembaran putih. Gerakannya beradu dengan kertas yang meliuk-liuk, seperti sebuah duet tarian yang dinamis.

Nuansa Biru (SMA Trimurti Series) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang