A 2

199 17 4
                                    




           

*** 

"Tolol. Bego. Bodoh," Dina tak henti-hentinya merutuki dirinya sendiri. "Kok bego banget, sih, gue."

Yuki hanya bisa diam melihat tingkah temannya. Jika sudah begini, Yuki hanya akan menyalahkan kecerobohan Dina.

"Lagian, lo ngapain, sih, nyari cowok lewat Tinder?"

Dina menoleh ke arah Yuki dengan tatapan meminta belas kasihan,"Namanya juga usaha."

Yuki berdecih.

"Gila, cewek nyaris perfect kayak lo aja susah banget dapet pacar. Kayaknya ada yang salah deh sama lo."

Dina memalingkan pandangannya ke arah layar segi-empat di hadapannya.

"Iya, kayaknya hidup gue cuma bawa sial. Bahkan, setelah gue lahir, orang tua gue...." Mata dina mulai berkaca-kaca.

"Eh, Din, nggak gitu maksud gue. Bukan sial juga. Duh, maaf-maaf. Kok jadi lo mikir gitu, sih," ucap Yuki setelah merasa salah bicara membuat Dina sedih teringat orang tuanya.

"Gak apa-apa, Yuk." Dina menyeka airmatanya dan berusaha untuk tersenyum. "I'm okay."

"Maaf, ya... Gak gitu, kok."

Dina tersenyum.

Tak lama kemudian, salah seorang karyawan menghampiri Dina. "Din, pak Zidan manggil lo, tuh."

Dina dan Yuki menoleh secara bersamaan. "Hah? Ngapain?"

"Gak tau," tutup orang itu dan melangkah pergi.

Dina dan Yuki saling melempar pandangan. "Temenin, Yuk."

"Gak mau. Orang lo yang dipanggil."

"Gue takut, nih."

"Udah santai aja. Kayak mau diapain aja."

"Duh, ngapain, ya, dia manggil?"

Yuki mengangkat kedua bahunya.

Dina menarik napasnya panjang. Lalu, bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju ruangan bertuliskan nama Zidan. Membuka knop pintu dengan hati-hati, dan...

"Misi, pak. Manggil saya?"

"Oh, iya, Dina. Silahkan masuk."

Nah, kan. Belum kenalan aja, dia udah manggil nama gue. Fix sih ini. Gara-gara Tinder. Gumam Dina.

"Iya, pak."

Zidan menghampiri Dina yang duduk di sofa depan mejanya. "Wah, akhirnya kita ketemu, ya."

"I-iya, pak," jawab Dina kikuk.

"Padahal kita baru akan rencana ketemu seminggu lagi. Ternyata, takdir kita dipercepat untuk bertemu."

Dina tersenyum kikuk. "Iya, pak."

"Jangan panggil, pak, dong. Zidan aja."

Dina tercengang. "Gak bisa, pak. Nanti apa kata orang-orang. Saya gak sopan manggil atasan dengan nama aja."

Zidan memutar bola matanya sejenak,"Oke, kalo gitu, selesai jam kantor kamu manggil saya nama. Jangan pake pak. Oke?"

"Ba-baik, pak."

Zidan tersenyum.

"Bapak, maaf sebelumnya. Ada keperluan apa manggil saya?"

"Oh, iya," Zidan hanpir lupa dengan apa yang ingin ia bicarakan. "Ini punya kamu?"

Dina terkejut mendapati tas makeup bertuliskan namanya berada di tangan Zidan.

"Lah, disini. Ini dia, pak, yang saya cari. Kok bisa ada di bapak?" tanya Dina lirih.

Zidan dengan santainya mengangkat kedua bahunya. "Tadi udah ada di ruangan saya pas saya masuk."

Dina berdecak kesal. "Ah, pasti ulah si setan. Sialann," ucapnya lirih.

Dengan cepat, Dina meraih tas makeupnya dari tangan Zidan. "Makasih, pak. Saya langsung kembali, ya?"

"Oh, oke," Zidan mengangguk.

Baru Dina akan melangkahkan kakinya keluar, Zidan kembali berbicara,"Untuk rencana date kita, diganti jadi nanti malem aja gimana? Kamu ada acara?"

Glek.

Dina menoleh pelan sambil mengangguk,"Iya, pak."

"Oke kalo gitu. See you."

Dina keluar dengan keringet dingin di tubuhnya. Percayalah, bagi Dina, ini lebih horor dibanding melihat setan yang berkeliaran di hadapannya setiap saat.

"See you, katanya? Gimana dia bisa ngomong begitu, sedangkan setiap menit aja dia bisa ngeliat gue," gerutu Dina.

"Duh, Dewa, tolongin gue. Bisa mati mendadak kalo gue beneran date sama bos sendiri."

-

Di lain tempat, seorang laki-laki terpaksa bangun dari tidurnya setelah mendengar suara aneh dari dalam kepalanya.

"Hah, suara aneh ini lagi," keluhnya. "Belakangan ini, suaranya makin kenceng. Tapi, gue gak bisa menemukan sumber suaranya."

Laki-laki itu meraih kunci mobilnya dan jaket boomber merah maroon miliknya. "Pasti si anak Iblis itu."

Laki-laki itu berjalan menuruni anak tangga, dan langsung menuju garasi.

"Dimana, sih, itu anak. Bertahun-tahun gue nyari gak pernah ketemu. Bikin kerjaan aja, sih."

Mulai terdengar mesin mobil dinyalakan. Tak lama, pintu garasi terbuka secara otomatis. Laki-laki itu memakai kacamata hitam andalannya. Dan, mulai menginjak pedal gas.

"Kalo ketemu, dia harus membayar waktu gue yang terbuang sia-sia buat nyari dia."

AzkadinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang