A 5

162 16 0
                                    

***

Dina diam terpaku tatkala melihat mobil Range Rover hitam sudah berada di depan rumahnya. Lengkap dengan supir ganteng alias bosnya sendiri.

"Zidan?" ucapnya tanpa sadar.

"Naik, aku anter ke kantor."

Tanpa banyak basa basi, Dina langsung menuruti omongan Zidan.

"Nganter? Kita bahkan satu tempat kerja yang sama."

Tawa Zidan lepas. Menampilkan garis tawa di ujung pipi sebelah kirinya.

Manis.

"Kamu udah makan?"

"Udah."

"Yah."

"Kok, yah?"

"Saya udah masakin makanan buat kamu."

Mata Dina mendelik ke arah Zidan,"Oh iya? Kamu bisa masak? Keren banget."

"Keren?"

Dina mengangguk antusias,"Buat aku, cowok idaman itu cowok yang bisa masak."

Zidan tertawa lagi.

Dina nyaris kehabisan oksigen jika terus-terusan melihat Zidan tertawa seperti ini terus.

"Nih makanan buat kamu. Semoga suka," Zidan menyodorkan satu buah kotak taperwer berisikan makanan buatannya.

"Makasih, Zidan, eh, pak Zidan, maksudnya."

"Kan belum sampe kantor. Jangan pake 'pak'."

Dina tersenyum malu.

Tepat sebelum sampai kawasan kantor, Dina memilih untuk turun. Khawaitir akan menimbulkan gosip yang tidak-tidak jika ada yang melihat ia bersama atasannya sendiri.

"Gak apa-apa turun disini?"

Dina mengangguk. "Gak apa-apa."

"Yaudah, saya duluan, ya."

Setelah mendapat balasan,"Iya," dari Dina, Zidan melajukan mobilnya memasuki kawasan parkir tempatnya bekerja.

Sedangkan Dina berjalan perlahan merasakan semilir angin yang begitu sejuk. Membiarkan angin mengacak-acak rambutnya yang baru saja ia catok tadi pagi.

"Woi."

Sayang, semua kenyamanan itu harus berakhir dengan kehadiran seseorang.

Dina membalikkan badannya setelah mendengar panggilan dari laki-laki yang ada di belakangnya.

"Kamu?"

Laki-laki si pembuat onar, ternyata.

"Ngapain kamu disini?"

"Jalan-jalan."

Dina berdecih. Wajahnya yang sumringah, berubah menjadi ketus dalam seketika.

"Kamu gak ada urusan disini."

"Ini kan tempat umum."

Laki-laki tak dikenal itu mendekati Dina.

"Mau apa kamu? Jangan macem-macem, ya."

"Aku harus mengecek sesuatu."

"Hah?"

Dalam hitungan detik, laki-laki itu membawa Dina berteleportasi ke atas atap gedung.

Dina shock gak karuan. Tidak berhenti disitu, laki-laki itu juga terus memperlihatkan tingkahnya yang aneh.

"Ka-kamu mau apa?"

Laki-laki itu berjalan mendekati tubuh Dina yang memberi respon negative terhadapnya.

"Mau ngecek sesuatu dibilang."

"Ya, apa? Kamu siapa?"

"Tebak aja."

Semakin laki-laki itu mendekati Dina, langkah perempuan itu semakin mundur dan menjauh.

"Kamu tuh hantu gentayangan, ya? Mending kamu balik deh ke alam kamu. Jangan gangguin manusia. Husss."

Laki-laki itu tertawa kecil,"Gue bukan manusia."

"Ya, hantu, 'kan?"

"Bukan juga."

"Ngaku aja, deh. Kamu pasti hantu yang meninggalnya gak tenang. Kenapa? Kamu meninggal gara-gara gak bsia bayar utang? Atau, gara-gara keseringan stalking gebetan?"

"..."

"Ah, aku tau. Kamu pasti galon."

"Galon?"

"Gagal move on, terus bunuh diri. Terus sekarang kamu mau bales dendam. Iya, 'kan?"

Laki-laki itu berdecak,"Bukan dibilang."

"Terus?"

"Tebak dong."

Menyebalkan.

Dina sudah berada di posisi paling ujung di rooftop.

"Lo siapa?" tanya laki-laki itu.

"Tebak."

"Oh, tebak." Laki-laki itu menghentikan langkahnya setelah berada pada jarak setengah meter dari Dina. "Eh, tebak, kenapa mata lo biru?"

Dina geram. Ia benar-benar ingin marah sekarang.

"Nama aku bukan tebak. Dan, bukan urusan kamu juga nanya soal mata aku."

"Itu jadi urusan gue, karena gue lagi nyari sesuatu yang hilang."

"Apa? Mata kamu ilang? Emang mata kamu ada berapa? Kamu pikir aku tempat penyimpanan mata?"

"Ssst, diem. Gue cuma mau ngecek. Diem, ya."

Dengan cepat, tangan laki-laki itu menyambar tubuh Dina dan melemparkannya begitu saja tanpa ada rasa dosa.

Membuat tubuh perempuan itu terpelanting dan siap jatuh terbentur aspal.

Sebelum itu, Dina sempat memegang tangan laki-laki itu untuk menahan tubuhnya. Sayang, kekuatan laki-laki itu jauh lebih besar. Membuatnya menyerah dan membiarkan tubuhnya 'terbang'.

Laki-laki itu dengan santainya melipat kedua tangan dan memandangi tubuh Dina dari kejauhan.

"Sudah kuduga."

Sesaat sebelum tubuh Dina menyentuh aspal, laki-laki itu sudah lebih dulu menangkapnya. Untuk kemudian mengembalikannya ke atas gedung.

Laki-laki itu membawa Dina ke dalam pelukkannya. Dalam jarak yang sedekat ini, tatap mata mereka kembali bertemu. Degub jantung mereka beriringan dengan nada yang sama.

Dan, pertanyaan tetap menjadi pertanyaan. Tanpa jawaban.

Menyisakan berbagai pertanyaan lainnya.

Jawabannya? Tetap menjadi misteri yang bahkan Dewa pun tidak dapat menebaknya.

Membuatnya terus bertanya,"Dimanakah sang jawaban berada?"

AzkadinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang