A 4

179 18 5
                                    


***

Dina membaringkan tubuhnya di sofa ruang tamu rumah, matanya menatap ke arah lampu yang ada di atasnya.

"Ganteng, sih. Suer. Badannya bagus. Gila, parah, sih. Keren banget."

Perempuan dengan rambut dikucirnya itu menghela napas.

"Belakangan, kenapa banyak cowok-cowok ganteng bermunculan coba? Apa ini tanda-tanda dunia akan berakhir?"

Dina membenahi posisinya, dan duduk menghadap televisi.

"Matanya..." Tangan Dina mengawang-awang, seolah sedang meraba wajah seseorang. "...Biru."

"Siapa?"

Sapaan Bi Nah barusan membuat lamunan Dina buyar.

"Hah? Apa? Siapa? Siapanya siapa? Apanya siapa?" tanya Dina kikuk.

"Siapa yang ganteng?"

Bi Nah menyodorkan kacang rebus kehadapan Dina.

"Bukan siapa-siapa, Bi," Dina menggeleng cepat, dan langsung menyantap kacang rebus yang disediakan Bi Nah.

Bi Nah hanya tertawa.

Namun, tawanya reda saat ia melihat tangan Dina tergores pinggiran piring yang berisikan kacang.

"Ouch."

Bi Nah langsung dengan sigap menghentikan lukanya dengan tangannya. Baru beberapa tetes darah yang mengalir, sudah banyak roh jahat yang berdatangan.

Untungnya, rumah yang di tempati Dina mendapatkan perlindungan khusus, sehingga tidak dapat dimasuki oleh roh jahat. Meskipun begitu, Dina juga tidak akan bisa disentuh oleh roh jahat secara langsung, karena ia masih berada di bawah perlindungan Dewa Angin.

Setidaknya, itu akan bertahan sampai beberapa hari ke depan.

"Dina, hati-hati," ujar Bi Nah dengan penuh perhatian. "Kamu gak boleh berdarah sedikitpun."

Dina tersenyum,"Iya, Bi Nah."

Setelah memplester lukanya, Dina kembali asyik memakan kacang rebus miliknya.

"Gimana tadi kencannya? Kamu gak cerita apa-apa sama Bi Nah."

Dina menarik napasny, berat.

"Gagal?"

Dina mengangguk.

"Kok bisa?"

"Gara-gara tadi ketemu cowok nyebelin. Jadi, semua berantakan."

Bi Nah tertawa. "Tapi, gimana sama Zidan?"

Sejauh ini, siapapun yang dekat dengan Dina, ia selalu cerita pada Bi Nah. Jadi, tidak heran jika Bi Nah terkadang juga memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada setiap orang yang deket dengan Dina.

"Ganteng, badannya bagus, tinggi, dia juga keren, punya bola mata biru. Sayang, dia nyebelin. Kalo aja dia gak jadi orang nyebelin dan gak ngomelin aku depan umum. Pasti aku bakal terpana liatnya. Asli, dia ganteng. Aku gak pernah liat cowok seganteng itu. Kayak bukan manusia. Terus, pas tatapan sama dia, aku gak bisa bergerak atau bahkan ngomong apapun."

"Zidan?"

"Bukan."

"Terus?"

"Si cowok nyebelin dan pembuat onar itu," balas Dina dengan geram.

"Bi Nah kira, kamu ngomongin Zidan. Hmmm, Zidan belum bisa nempel diingatan Dina ternyata," goda Bi Nah yang kemudian meninggalkan Dina.

Menyadari apa yang dikatakan Bi Nah barusan, Dina pun bengong. Bermain-main dengan pikirannya sendiri.

"Lah, iya. Kenapa gue jadi ngomongin si orang gak jelas itu, deh?" Dina kembali memukul-mukul kepalanya pelan. "Gue pasti bentar lagi gila."

-

Lain tempat, lain cerita.

Laki-laki yang memiliki paras tampan dan sejuta pesona untuk memikat kaum hawa ini, uring-uringan tidak bisa tidur.

Ia bahkan tidak bisa menghapuskan bayangan wajah perempuan yang bersiteru dengannya di restauran.

"Gue pasti udah gila," ungkapnya.

"Cewek urakan, yang nyebelin itu, siapa?" tanya pada diri sendiri.

Di tengah malam, berteman hamparan bintang, ia ribut dengan pikirannya sendiri.

"Dia punya mata yang sama kayak gue."

Laki-laki itu memutar posisi tidurnya. Ia gelisah.

"Gak, dia gak mungkin si anak Iblis. Kalo itu dia, dia pasti bisa lihat ada hantu yang jahilin dia tadi. Tapi, ini nggak."

Dia memejamkan matanya, kemudian berfikir,"Apa mungkin dia emang gak bisa ngelihat hantu?"

"Ah, gak mungkin," sangkalnya. "Dia sama laki-laki tadi, sedangkan pengantin wanita gue, gak akan bisa disentuh laki-laki manapun sampe perlindungan itu habis. Pasti bukan dia."

Ia menghela napasnya,"Tapi, matanya...."

"Nggak, nggak, itu pasti softlens."

Laki-laki itu mengangguk sendiri, masih terus bersiteru dengan pikirannya yang tidak juga berhenti.

"Tapi, siapa perempuan itu. Kenapa tadi mendadak badan gue gak bisa gerak waktu natap dia. Anehnya lagi, gue gak bisa baca isi pikirannya," ia bangun dari posisi tidurnya. "Dan, kenapa juga jantung gue gak mau berenti deg-degan semenjak tadi ketemu dia."

"Gue harus cari tau. Apakah itu dia atau bukan?"

"Kalo bener itu dia, bukan cuma bakal minta cuciinbaju gue. Tapi, gue bakal minta sekalian sama orang-orangnya juga," ujarnyasambil tersenyum jahil.    

AzkadinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang