A 16

135 16 1
                                    

***

Dina mengerdipkan matanya, saat samar-samar sinar matahari itu menembus kamarnya. Menyadari bahwa ia tidak tidur di kamar semalam, ia langsung bangun dari tidurnya. Mengelilingi seluruh sudut rumah untuk menemukan sosok yang sama yang ia cari.

Nihil.

Dina tidak menemukan apa-apa.

Tapi, ia boleh sedikit berbahagia. Setidaknya, laki-laki itu masih tetap perduli dengannya.

Di meja makan, sudah penuh dengan makanan baru dimasak yang sudah siap makan. Berbeda dengan pagi kemarin, Dina tidak mengabaikannya. Ia menyantap makanan itu dengan lahap. Tak perduli akan sebanyak apa makanan yang sudah masuk ke dalam pencernaannya.

Sayang, pagi ini Azka tidak ada disana untuk melihat betapa Dina begitu bahagia menyantap makanan pemberiannya.

Baru saja Dina selesai makan, suara klakson mobil sudah datang mengejutkannya.

Berbeda dengan sebelumnya, ia sedikit kesal dengan kedatangan Zidan. Entah apa alasannya.

"Dina, bareng, ya."

Ingin menolak, gak enak. Gak ditolak, makin gak enak.

Terpaksa, Dina mengangguk.

Mobil melaju dikecepatan 50 km/jam.

Jalanan pagi juga tidak terlalu macet.

Saat Zidan sibuk mencari bahan pembicaraan, Dina justru sibuk melihat ke atas gedung. Kalau-kalau ada Azka yang sedang memperhatikannya disana.

"Gimana, Dina?" tanya Zidan.

"Hm, iya, pak. Oke," balas Dina tak perduli. Ia bahkan tidak tau apa yang sejak tadi Zidan bicarakan.

Ia benar-benar tidak ingin pikirannya diganggu sekarang. Ia tengah sibuk.

Sibuk memikirkan; dimana Azka?

Menyadari bahwa Dina tidak memperdulika kehadirannya saat ini. Zidan hanya tersenyum. Memperlihatkan garis senyumannya yang membuat perempuan disebelahnya terpesona saat pertama bertemu.

"Ini dimana?" tanya Dina setelah menyadari bahwa tempat tujuannya sekarang bukan kantor.

"Rahasia," jawab Zidan penuh teka-teki.

Dina mendelik. Matanya berpendar melihat sekeliling.

Tempat ini asing. Dan, sedikit menakutkan.

Zidan membukakan pintu untuk Dina. "Turun. Saya mau kasih kamu sesuatu."

Lagi-lagi, Dina harus pasrah dengan keadaan.

Zidan menggandeng tangan Dina masuk ke dalam sebuah rumah besar yang begitu indah. Zidan juga membukakan pintu untuk Dina.

Pandangan pertama Dina langsung terpaku pada sebuah foto besar bergambar dirinya.

"Zidan?"

Zidan hanya tersenyum. Ia mengajak Dina untuk masuk ke dalam rumah miliknya.

"Rumah ini aku design untuk kita."

Dina terkesiap. Ia berdiri mematung. Lidahnya kelu hanya untuk sekedar berbicara satu kata.

Dina mendadak diam seribu bahasa. Apalagi, saat Zidan berlutut dihadapannya dan mencium tangannya.

Seketika itu juga, airmatanya terjatuh.

"Dina, menikahlah denganku."

Dina berusaha untuk tersadar dari lamunannya. Ia menarik tangan yang sedang digenggam Zidan. Memundurkan langkahnya dengan perlahan. Lalu menggelengkan kepalanya.

"Zidan, maaf. Aku gak bisa."

Deg.

Zidan terkejut. Kedua matanya membulat seketika. Dan, memfokuskan pandangannya pada sosok perempuan satu-satunya yang ada di depannya.

"Aku pikir kita saling suka."

Dina menarik napasnya,"Iya, aku emang suka sama kamu. Tapi, sebatas kagum. Gak lebih."

"Din –"

"Kamu baik, perhatian, tampan, perempuan mana yang gak akan terpesona dengan kamu. Aku akuin, aku memang terpesona."

"Lalu?"

"Tapi, aku gak bisa menikah dengan kamu."

"Kenapa?"

Dina memutar bola matanya, biar bagaimanapun, ia terus berusaha agar airmatanya tidak terjatuh.

"Aku udah menikah."

-

Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda.

Azka sedang mati-matian menahan sakit yang sejak tadi tidak henti-hentinya ia rasakan.

Rasanya, benar-benar menyiksa. Dan, membuatnya tak tahan.

Azka mengangkat mobil miliknya, lalu membantingnya sekuat tenaga.

Karena, sudah tidak ada lagi barang-barang yang bisa dihancurkan di dalam rumah. Akhirnya, ia memilih mobil kesayangannya yang seharga Miliyaran untuk dijadikan objek pelampiasan emosinya.

Mobil mewah itu hancur hanya dalam satu gertakan.

Bahkan, disekitar rumah milik Azka, mendadak muncul angin kencang yang mampu membuat dinding rumahnya runtuh.

Nino berusaha untuk menenangkan Tuannya.

Bukan, bukan menenangkan. Tapi, Nino ingin memberi tahu sebuah berita besar pada Azka.

"Tuan."

"Jangan ganggu."

"Darurat."

"Gak ada yang lebih darurat selain amarah gue ngeliat Dina sama Zidan."

"Ini lebih darurat."

Azka memalingkan pandangannya ke arah Nino, dengan emosi yang masih memuncak. "Apa?"

"Saya dapat kabar, bahwa malam ini adalah malam dimana roh jahat akan berburu mencari mangsa."

"APA?"

"Itu tandanya nyawa Dina sedang dalam bahaya."

Mendengar kabar barusan, Azka langsung menghilang. Ia pergi menuju rumah Dina.

Kosong.

AzkadinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang