***
Dengan mengenakan coat hangat pemberian Azka, lengkap dengan segala pakaian yang ia kenakan hari ini. Dina melangkahkan kakinya menuju rumah yang ia tinggali selama 21 tahun itu.
Senyumnya merekah kala ia melihat Bi Nah yang terlihat antusias menghampirinya. Ia memeluk Bi Nah dengan erat. Terlihat buliran beberapa airmata bahagia.
"Bi Nah khawatir banget sama Dina."
"Dina gak apa-apa, kok, Bi."
"Syukur kalo Dina gak apa-apa. Bi Nah takut banget Dina kenapa-napa."
Dina melepaskan pelukkannya. Ia mengusap airmata yang ada di pipi Bi Nah.
Tapi, senyum Bi Nah sedikit meredup kala melihat sosok laki-laki yang sejak tadi hanya berdiri mematung memperhatikan mereka.
Bi Nah membungkukkan sedikit tubuhnya ke arah Azka. "Senang bertemu dengan Dewa Azka lagi."
Azka mengangguk, lalu melenggang masuk ke dalam rumah begitu saja.
"Is, gak sopan," celetuk Dina.
Mendapati Dina yang kini bertemu dengan Azka, Bi Nah menjadi sedikit lega. Artinya, masa tugasnya selesai. Meskipun begitu, ia juga merasa sedih jika harus berpisah dengan Dina. Pasalnya, Dina sudah seperti anak sendiri yang ia rawat dan ia jaga selama bertahun-tahun.
"Sekarang, Dina gak usah takut lagi. Udah ada Dewa Azka yang bakal terus ngejagain Dina," ujar Bi Nah pada Dina yang tengah asik meminum kopinya.
"Ngejagain?" Dina melirik ke arah Azka. "Apaan? Yang ada Dina dijadiin pembantu sama dia. Disuruh nyuci bajunya dia, dan segala macem perintahnya."
Bi Nah tersenyum,"Gak apa-apa. Yang penting Dina aman sama Dewa Azka."
Dina meraih tangan Bi Nah, lalu menggenggamnya dengan erat. "Azka bilang, Bi Nah gak bakal lagi jagain Dina, ya?"
Bi Nah membalas genggaman erat Dina,"Iya. Tugas Bi Nah sudah selesai. Sekarang, Dewa Azka yang bakal jagain Dina."
"Bi Nah jangan pergi."
"Kenapa?"
"Nanti, kalo Dina kangen gimana?"
"Bi Nah sering-sering main deh ke rumah Dina, biar gak kangen."
"Kirain Bi Nah bakal bilang 'jangan kangen, berat' ala-ala quotes."
"Yang berat itu pisah dari Dina, apalagi kalo ngeliat Dina kenapa-napa," nada bicara Bi Nah mulai goyang, bahkan airmata bahagia itu berubah menjadi airmata perpisahan.
"Dina, baik-baik sama Dewa Azka, ya."
"Gak mau. Dia aja gak baik sama Dina."
"Dia adalah orang yang bakal ngelindungin Dina mati-matian. Dia gak akan ngebiarin Dina terluka sedikitpun."
Dina terdiam.
"Bi Nah, makasih, ya. Selama ini udah ngerawat dan ngejaga Dina. Semenjak orang tua Dina menukarkan hidup mereka ke Dewa demi keselamatan Dina."
Bi Nah terhenyak. Ia diam. Matanya melihat ke arah Azka yang memberi isyarat untuk diam.
"Iya, Dina," Bi Nah pun mengangguk, kikuk.
"Yaudah, Dina mau siap-siap kerja. Nanti, kita ngobrol lagi ya."
Bi Nah mengangguk. Setelah memberikan pelukkan terakhir, Dina pun pamit.
"Azka, ayo," ajak Dina yang akhirnya lebih dulu berjalan keluar.
Azka pun pamit pada Bi Nah.
"Dia belum tau yang sebenernya?"
Azka menggeleng. "Gak perlu. Jangan sampe dia tau orang tuanya menyerahkan nyawanya ke Iblis."
Bi Nah mengangguk tanda mengerti. Lalu, Azka pun pergi menysul langkah Dina.
Azka mempercepat kakinya untuk mensejajarkan langkahnya. Kemudian menarik pinggang Dina untuk lebih berdekatan dengannya. Dan...
Wusss.
Dina sudah sampai di rooftop gedung tempatnya bekerja.
"Wah, enak. Gak perlu capek-capek jalan."
"Udah, sana. Nanti gue jemput disini lagi pas pulang."
Dina mengangguk.
"Yaudah, dah."
Baru selangkah Dina berbalik badan, Azka sudah menahan langkahnya.
"Bentar." Laki-laki itu merapikan beberapa helai rambut yang berantakan akibat angin.
Berada dalam jarak sedekat ini dengan Azka, membuat Dina bisa mencium bau shampoo yang Azka pakai, bercampur dengan wangi parfum yang ia gunakan juga.
"Udah. Sekarang lo boleh pergi."
Lamunan Dina buyar.
"Oke."
Baru selangkah ia pergi, perempuan itu kembali membalikkan badannya. Dan, menarik tangan Azka, lalu menciumnya.
"Ini yang suami-istri lakuin kalo salah satunya mau pergi. Ya, meskipun aku masih gak percaya kamu suami aku," tutup Dina.
Azka tercengang. Ia bahkan tidak berkedip melihat Dina mencium tangannya seperti tadi.
Jantungnya berdegub dengan sangat cepat. Membuatnya nyaris mati karena deg-degan.
"Kenapa gue deg-degan?" ujarnya sebelum akhirnya menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Azkadina
FantasíaSegala bentuk cerita, penokohan, dan tempat adalah fiktif dan kebutuhan jalan cerita belaka. Tidak bermaksud untuk menyinggung salah satu agama/ras rertentu. •••••••••••••••• "Satu hal yang tidak boleh dilanggar dari pernikahan terlarang ini. Salah...