A7

144 16 1
                                    

***

Dina terbangun dengan sakit disekujur tubuhnya. Kepalanya juga masih sakit setelah menghantam kaca. Bukan hanya itu, belum selesai shock yang ia rasakan tadi pagi, Dina kembali mengalami kejadian yang sama.

Dan, ditolong orang yang sama.

Ia perlahan mengedipkan matanya. Melihat sekeliling. Matanya berhenti di satu titik. Di sana, laki-laki itu berdiri mematung, menatap Dina dengan lamat-lamat. Dari ujung kaki sampai ujung kepala. Kemudian, berdecak, berbalik badan.

"Jadi, lo beneran pengantin wanita gue," celetuknya.

Tak mengerti apa yang baru saja dikatakan, Dina mencoba untuk bangun.

"Jangan bangun. Tidur aja. Kalo ada perlu apa, bilang sama gue."

Dina akhirnya mengurungkan niatnya untuk bangun, menuruti perintah laki-laki yang sampai saat ini tidak tau siapa namanya.

"Azka Adinata," ucap laki-laki itu tiba-tiba. "Itu nama gue, kalo lo malu buat nanya, gue jawab tanpa harus nanya."

"Hah?"

Dina mencebik.

"Siapa juga yang mau tau nama kamu," ketusnya.

Laki-laki bernama Azka itu berbalik badan setelah menyiapkan makanan untuk Dina. Lalu, membantu duduk.

"Makan," Azka menyodorkan sepiring bubur ayam dengan kecap manis kehadapan Dina. "Jangan ge-er, ini bukan gue yang nyiapin. Tapi, asisten gue, Nino."

Dina tersenyum pada laki-laki yang berdiri tidak jauh dari dirinya berada.

"Tangan aku sakit."

Azka menghela napas,"Yaudah, gue suapin."

Azka mulai menyendokkan bubur dan menyuapkannya pada Dina. Meski terlihat beberapa kali mengeluh kesal, tapi akhirnya Azka mau dengan sabar melakukannya.

"Lo tinggal disini dulu untuk beberapa hari," ucapnya setelah selesai menyuapi Dina.

Dina melongo bingung,"Kenapa? Nanti Bi Nah khawatir. Aku mau –"

"Harus ya lo khawatirin orang sekarang? Bisa lo khawatirin diri lo sendiri dulu? Nyawa lo bisa berada dalam bahaya lagi kalo gitu. Terserah, sih. Kalo lo mau mati, gue anterin, deh."

Dina berdecak kesal. Ia memalingkan pandangannya, melihat rumah yang dominan berwarna biru dengan tatanan klasik yang begitu cantik.

"Adin," panggil Dina yang langsung membuat kedua laki-laki yang ada di rumah itu menoleh bersamaan.

"ADIN????!!!" teriak Azka, membuat Dina sedikit takut karenanya. "Lo panggil gue Adin?"

Dina mengangguk. "Nama kamu, 'kan?"

"Whoah, anak Iblis ini," Azka mendekati Dina,"Panggil gue Dewa Angin Azka Adinata. Atau, lo bisa panggil gue Dewa Azka."

Dina mengerutkan kedua dahinya. Bingung.

"Dewa?"

"Lo gak tau gue siapa? Hah? Wah, bener-bener." Azka menggeram. "Eh, anak Iblis."

"Anak Iblis? Kamu barusan manggil aku anak Iblis? Jahat banget kamu manggil aku kayak gitu," sambar Dina.

"Emang, iya. Lo lupa, lo tuh lahir karena perjanjian Iblis. Makanya orang tua lo –"

Azka langsung diam, tidak melanjutkan ucapannya barusan.

Damn. Salah ngomong.

Hanya hitungan detik dari Azka bicara hal yang menyakitkan, airmata Dina langsung luruh. Beberapa kali ia mengusap matanya, berusaha untuk tidak terlihat menyedihkan di hadapan laki-laki sombong macam Azka.

"Ma-maksud gue..."

"Iya, mungkin sebutan anak Iblis emang pantes buat aku. Penyebab malangnya nasib orang tua aku adalah aku sendiri. Kehadiran aku udah banyak bikin masalah. Kalo aku tau cuma bakal jadi sumber masalah, aku lebih milih gak dilahirkan," ucap Dina dengan terisak.

Ia tak dapat lagi memendam sedihnya saat ini.

"Bahkan, aku gak pernah melewatkan pergantian umur dengan mereka. Gak tau wajah mereka. Dan, itu sakit. Lebih sakit dari luka ini," Dina memukul-mukul luka di tubuhnya.

Azka yang merasa bersalah sudah berkata sembarangan, langsung menarik tangan Dina dan membawanya dalam dekapan.

"Maaf. Gue gak bermaksud ngomong gitu. Lo juga bukan pembawa sial. Maaf."

Dalam dekapan Azka, Dina semakin menangis menjadi. Airmatanya tumpah ke baju Azka yang seharga Rp 700 ribu itu. Tapi, mau gimana lagi.

"Jangan pernah nyerah apapun yang terjadi. Gue bakal ada buat ngelindungin lo. Lo gak sendirian lagi sekarang, lo punya gue."

Azka mengelus bagian kepala Dina dengan tulus.

Entah kenapa, Dina merasakan kenyamanan yang berbeda saat berada diposisi seperti ini. Dipeluk oleh laki-laki yang tidak pernah ia temui, seharusnya tidak senyaman ini.

Seharusnya ia marah, memberontak, saat laki-laki tak dikenal berusaha memeluknya.

Tapi, tidak. Ia justru membiarkan tubuhnya tenggelam dalam pelukkan hangat milik Azka.

Dan, membiarkan matanya memejam dengan perlahan dan hilang dalam kehangatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Azka membopong tubuh Dina untuk membaringkannya kedalam kamar miliknya. Ia menarik selimut untuk Dina. Mengambil bantal miliknyasecara perlahan, lalu melangkahkan kaki keluar kamar untuk tidur di sofa ruangtamu. Dan, kemudian, terlelap dalam mimpi masing-masing.    

AzkadinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang