A 10

152 15 1
                                    

***

Pagi menyongsong lebih cepat. Pelan-pelan, Dina membuka matanya saat sinar matahari mulai mengganggunya.

Dina mengerjapkan matanya dan menatap jendela yang sudah terbuka.

Tapi, bukannya pemandangan asik yang dilihat, melainkan sebuah pemandangan yang membuatnya melotot seketika.

"Azka!" teriak Dina pada Azka yang bertelanjang dada di depan jendela.

Laki-laki yang dipanggil itu hanya menoleh,"Pagi."

Aneh, nada bicara laki-laki itu sedikit ramah. Dahi Dina berdenyit.

"Pagi," jawab Dina ketus.

"Nyawanya udah ngumpul?" tanya Azka baik-baik.

Dina mengangguk.

"Lukanya masih sakit?"

Dina menggeleng.

"Yaudah, kalo gitu...bangun. Terus kerja. Tuh, baju gue numpuk."

Benar saja, nada bicaranya yang aneh menyimpan sesuatu yang menjengkelkan.

"Gak bisa ya kamu biarin aku santai-santai."

"Nggak. Kan gue tuan rumahnya."

Malas berdebat pagi-pagi, Dina mengiyakan omongan Azka.

Iya aja biar cepet.

"Gila gue lama-lama kalo beneran punya suami kayak dia," gerutunya.

"I heard you," teriak Azka sambil terkekeh.

-

Selesai ia mencuci semua pakaian Azka, Dina membuatkan kopi untuk dirinya sendiri. Menyeruputnya saat masih hangat.

Sebuah kenikmatan yang haqiqi.

"Eh, manusia."

Dina berdecak.

"D I N A," teriaknya.

"Iya, iya, Dina."

"Kenapa?" jawab Dina malas.

"Kalo lo dikasih permintaan yang bisa dikabulkan, lo mau minta apa?"

Dina meletakkan cangkir kopinya, ia menoleh ke arah Azka yang masih menatapnya.

"Aku mau ketemu orang tuaku."

Azka mengangguk. "Terus?"

"Terus, aku mau ngerasain candle light dinner sama punya pacar bisa masak."

"Terus?"

"Mentok," pekik Dina.

Azka mengangguk.

"Kenapa?"

"Nanya doang, nyari topik bahasan," ujar Azka yang seketika itu juga langsung meninggalkan Dina.

"Ih, nyebelin."

Beberapa detik setelah kepergian Azka, laki-laki itu pun kembali. Ia menarik tangan Dina secara tiba-tiba, membuat perempuan itu panik seketika.

"Eh, eh, ngapain?"

Azka dengan cepat membawa Dina ke sebuah ruangan besar di rumahnya. Ruangan dengan dominan warna hitam itu begitu gelap dan menyeramkan.

"Mau ngapain kamu?" tanya Dina ketakutan.

"Lo bilang mau ketemu sama orang tua lo."

"Huh?"

"Diem," Azka mendekati tubuh Dina, tangannya meraba wajah Dina dan menutupnya secara perlahan.

"Lo percayain sama gue. Oke," bisik Azka.

Dina membalasnya dengan anggukkan.

Azka menyentuh tangan Dina dengan lembut. Laki-laki itu memejamkan matanya.

Perlahan terasa sebuah aliran darah hangat dalam tubuh Dina. Meskipun ia memejamkan mata, ia bahkan bisa melihat sinar yang ada di hadapannya saat ini.

Disana, bersamaan dengan sinar, muncul laki-laki dan perempuan paruh baya yang tersenyum padanya. Airmata Dina bergulir.

"Bilang, apa yang mau lo bilang ke mereka," ujar Azka pelan.

"I-bu... Ba-pak..."

Kedua orang tua itu tersenyum bahagia melihat Dina.

"Dina kangen."

"..."

"Makasih udah ngelahirin Dina."

Beberapa detik kemudian, sinar itu kian meredup. Dan, perlahan menghilang.

Sontak, Dina langsung membuka matanya.

"Cuma itu yang bisa gue lakuin buat lo. Buat ngobatin rindu lo," ujar Azka yang masih menggenggam tangan Dina.

"Makasih," ujar Dina lirih. Tanpa sungkan, Dina memeluk Azka.

Membuat Azka terpaku dan bengong.

Pelukkan Dina kian erat. Membuat tangan Azka secara otomatis membalas pelukkan Dina.

Azka membiarkan gadis itu menangis dalam pelukkannya. Membiarkannya tenang disana. Hingga akhirnya ia terlelap karena Azka membuatnya tertidur.

Azka membaringkan tubuh Dina di kamar.

Lalu, ia sibuk menyiapkan hal lain untuk Dina. Dibantu Nino, Azka menyiapkan sebuah meja ala candle light dinner. Nino juga membantu Azka untuk masak makanannya. Dengan susah payah, Azka berupaya untuk menghibur anak manusia yang ada di rumahnya itu.

Saat malam menyongsong, Azka sudah menggantikan baju Dina dengan sebuah gaun cantik.

Dina terbangun dengan bingung.

"Tuan putri," panggil Nino, mengejutkan Dina. "Ditunggu Dewa di luar."

Masih dalam keadaan bingung, Dina berjalan keluar kamarnya. Dan, mendapati Azka sudah berada di sebuah meja penuh lilin.

Tangan laki-laki itu menyambut kedatangan Dina.

"Ini...?"

"Yang lo mau, 'kan?"

"Huh?"

"Gue berusaha untuk jadi Dewa yang baik. Jadi, gue mengabulkan semua permintaan lo, termasuk untuk masak makanan sendiri."

Dina terenyuh. Ia tersenyum. "Kamu ngelakuin ini buat aku?"

Azka mengangguk. Lalu, menyuruh Dina untuk segera menyantap makanannya.

"Cobain."

Dengan senang hati, Dina menyantap makanan yang sudah Azka siapkan.

Selain makanan yang Azka siapkan, ada satu tambahan menu yang menemani makan malam Dina.

Rasa bahagia.

Siapa sangka, sebuah perlakuan sederhana, bisa membuat hati bahagia segitunya.

Karena, sesungguhnya, bahagia itu memang sederana.

Dimulai dari hal-hal yang biasa.

"Besok gue anter ketemu Bi Nah," ucap Azka sesaat sebelum mereka usai makan.

Yang langsung dibalas dengan anggukkan oleh Dina.    

AzkadinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang