A 9

141 16 5
                                    

***

"Aku mau ketemu sama Bi Nah," rengek Dina yang sama sekali tidak digubris Azka.

"Nanti."

"Kapan?"

"Ya, nanti."

"Nanti malem?"

"Iya, nanti malem, nunggu lo berumur 25 tahun."

Dina memukul bahu Azka pelan. "Serius."

Mau tidak mau, akhirnya Azka harus meladeni pertanyaan-pertanyaan Dina. "Nanti, nunggu luka lo sembuh dan gak begitu parah."

"Ini udah gak kenapa-kenapa, kok."

"Liat." Azka menarik tubuh Dina dan mengamati beberapa luka yang masih mengeluarkan darah segar. "Belum bisa."

"Apanya?"

"Lo belum bisa kemana-mana. Takut roh-roh jahat itu cium bau darah lo lagi. Mau didatengin mereka lagi?"

Dina menggeleng pelan. "Kan ada kamu."

"Gue?" Azka mengacungkan telunjuk ke arah dirinya sendiri.

Dina mengangguk.

"Gue...kaburlah. Emang gue bodyguard."

Dina berdecak,"Katanya kamu suami aku."

Azka menengadahkan wajahnya ke langit rumah. Membuat kesalnya disana.

"Iya, nanti kalo udah baikan lo boleh ketemu Dewa Penjaga. Nanti, ya. sabar," ujar Azka dengan menatap dalam mata Dina.

Membuat perempuan itu mengangguk, mengikuti omongan sang Dewa.

"Nah, sekarang, ceritain soal lo ke gue."

"Cerita?"

Azka mengangguk.

"Gue kan udah memperkenalkan diri gue. Tinggal lo sekarang."

"Oh," Dina mengangguk. "Skandinavia Maharani."

Mata Azka seketika mendelik. "Itu nama lo?"

Dina mengangguk,"Kata Bi Nah, Skandinavia diambil dari nama Kota yang indah. Jadi, dia berharap hidup aku juga akan selalu indah. Maharani itu artinya ratu."

Azka terkekeh.

Ia teringat beberapa kejadian masa lalu yang pernah ia lakukan, saat ia memporak-porandakan Kota Skandinavia lantaran emosi dengan beberapa manusia.

"Mereka bahkan melakukan sampai sejauh ini cuma untuk mengingatkan bahwa gue masih dalam masa hukuman," gumam Azka.

"Terus, gimana hidup lo selama ini?" tanya Azka.

Dina diam, beberapa detik kemudian baru ia menjawab dengan nada lirih. "Menyedihkan."

"Kenapa?"

"Kamu tau gak, hal terberat di dunia?"

"Apa?"

"Merindukan orang yang bahkan tidak bisa kita ingat wajahnya. Aku kangen orang tuaku."

Azka terenyuh. Tidak ingin melihat perempuan itu menangis lagi, ia pun berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.

"Selama ini punya pacar?"

Dina menggeleng. "Gak pernah."

Azka mengangguk. "Iyalah, lo kan cuma punya gue. Cowok lain gak ada yang bisa deketin."

Dina menoleh. Ia mengangkat salah satu alisnya. "Apa buktinya?"

Azka mendekatkan wajahnya, menatap mata Dina dalam-dalam. Membiarkan beberapa detik terbuang hanya untuk diam.

"Lo punya mata gue, lo punya sebagian darah gue, dan..."

Azka menarik pelan tangan Dina yang masih luka.

"Ini," Azka menunjuk pada tanda lahir yang selama ini tidak ia sadari. Lalu, menunjukkan tanda lahir yang ia punya juga di tangan kanannya. "Kita punya tanda lahir yang sama," ucapnya dengan pelan dan penuh kehati-hatian.

Azka menjauhkan wajahnya setelah melihat wajah Dina memerah karena ucapannya.

"Jadi, lo punya gue."

Dina menyunggingkan senyumnya kecil.

"Karena lo adalah istri gue, sekarang tolong cuciin semua baju gue."

Sekejap, senyum Dina pun sirna. "Apa?"

Azka menggunakan kekuatan anginnya untuk membawa keluar baju kotor dari kamarnya.

"Cuciin."

Dina mendelik. "Tapi, aku kan lagi sakit."

Azka menggeleng tidak perduli,"Cu...ci...in."

Kesal, mau tidak mau Dina menuruti perintah Azka. Karena, merasa berhutang budi sudah membantu menyelamatkan nyawanya.

"Yang bersih. Baju-baju gue harganya mahal semua."

Saat Dina sibuk mencuci, Azka justru sibuk bersantai sambil menonton televisi dan tertawa tanpa rasa berdosa.

-

Malam datang.

Malam ini, tidak seperti malam sebelumnya yang penuh ancaman.

Dina bisa sedikit lega menyaksikan malam penuh bintang dari dalam kamar Azka yang atapnya bisa menembus langit.

"Eh," panggil Azka.

"Aku punya nama," celetuk Dina kesal.

"Dina."

Yang dipanggil langsung menoleh,"Apa?"

"Ayo makan."

Dina mengalihkan pandangannya, dan kembali menatap langit. "Nanti."

Kesal perintahnya tidak digubris. Azka berniat untuk menjahili Dina.

Ia membuat selimutnya terbang menyerupai bentuk manusia dan menerbangkannya ke arah Dina yang langsung panik.

"Waaaa, setan," teriak Dina.

Ia berlari dari atas kasur tanpa aba-aba, menuju ruang makan.

Azka tertawa sampai ingin menangis melihat Dina ketakutan seperti orang gila.

"Kamu!" pekik Dina.

"Eh, rumah Dewa gak ada yang bia dimasukin hantu."

"Gak lucu."

"Siapa yang ngajak lo ketawa? Gue ketawa sendiri. Ya 'kan, No?"

Nino hanya tersenyum, meskipun sebenarnya ia sangat ingin tertawa juga.

"Makanya, kalo disuruh makan, ya makan. Mau sembuh gak?"

"Ih, iya, iya. Galak banget."

Dina menuruti perintah Azka, dan duduk di meja makan yang sudah disediakan. Kejahilan Azka tidak berhenti disitu, ia bahkan menuangkan sambal ke dalam minuman yang diberikan Nino pada Dina.

Membuat perempuan itu meringis kepedasan.

Azka tertawa terpingkal-pingkal.

"Tuan, kasihan dia."

"Biarin. Seru ngerjain dia."

Hidup dalam satu atap yang mengaku sebagai pasangan kita, dan nyatanya kita hanya dijadikan bahan untuk bercanda, sangatlah tidak menyenangkan.

Tapi, Dina harus bertahan, demi keselamatannya.

Ia terlelap di bawah bintang-bintang yang melihatnya dari atas sana. Azka masuk ke dalam kamar. Melihat perempuan itu tengah tertidur pulas.

Pelan-pelan, ia mengobati luka Dina.

Ia juga mengompres badan Dina yang selalu panas tiap malam menjelang.

Azka berdiri di samping Dina untuk meyakinkan bahwa perempuan itu benar-benar telah tertidur.

Ia juga menyelimuti Dina sebelum keluar dari kamarnya.

Dan, kembali tertidur di sofa.

AzkadinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang