***
Dina bangun dalam keadaan sudah ganti baju dengan mengenakan baju gombrong yang kegedean. Ia membelalakkan matanya kaget.
Dina sontak bangun dan berlari ke ruang tamu, dimana ada Azka dan Nino yang sedang meminum segelas kopi hangat.
"Pagi," sapa Nino, yang langsung meninggalkan keduanya.
Mata Dina masih melotot ke arah Azka yang sama sekali tidak menghiraukan tatapan marahnya.
"Nih kopi," Azka menyodorkan segelas kopi pahit pada Dina.
Dengan cekatan, Dina mengambil gelasnya dan menyiramkan kopi itu pada Azka.
"What?" Azka terkejut.
"Dasar Mesum."
Azka melongo. Tidak mengerti apa yang Dina ucapkan.
"Kamu ngapain aku?"
"Ngapain? Megang lo aja nggak."
"Bohong."
Azka berdecak,"Kalo gue mesum, bukan lo korbannya. Lo gak cukup menarik untuk bikin gue mesum."
Dina menggeram. "Brengsek."
"Lo yang brengsek. Gue gak salah apa-apa terus tiba-tiba disiram pake kopi. Tau gak berapa harga kopinya?"
Dina melengos,"Gak peduli."
Azka meraih tissue untuk bajunya yang basah. Dan, seketika itu juga ia berpikir.
"Oh, baju? Lo pikir gue nelanjangin lo cuma buat gantiin baju lo?"
"...."
"Jangan panggil gue Dewa kalo gue gak bisa gantiin baju lo tanpa melihat tubuh lo itu."
"..."
"Kenapa diem? Gak percaya?"
Dina melirik ke arah Azka sekilas.
"Nih gue buktiin."
Dalam sekejap, Dina sudah berganti baju yang lain. "Baju gue?"
Kini, giliran Azka yang ketus. "Baju gue kali."
"Maaf, udah nuduh."
"Hm."
"Sini baju lo, biar gue cuciin aja."
Azka menyunggingkan senyum jahilnya. "Sekalian sama baju gue yang kemarin di restaurant."
Pasrah, Dina cuma bisa mengiyakan. "Iya. Ada lagi?"
Azk mendekati Dina dengan pandangannya yang tajam, lalu berbisik pelan di telinga Dina. Membuat bulu kuduk Dina meremang dalam seketika.
"Ada," bisiknya. "Guenya. Bisa?"
Mendengar ucapan Azka barusan, Dina langsung mendorong tubuh Azka untuk menjauhinya. "Mesum."
Azka tertawa riang. Senang rasanya bisa mengerjai manusia. Apalagi manusianya adalah Dina, yang bertahun-tahun ia cari kesana-kemari.
-
Setelah selesai mencuci, Dina asik bersantai di sofa dengan menonton acara-acara televisi yang sebenarnya membosankan. Tapi, gak ada lagi yang bisa dilakukan.
"Eh, anak Ib –"
Belum sempat Azka menyelesaikan panggilannya, Dina sudah menatapnya dengan tatapan iba.
"Ma-maksud gue, anak manusia."
Dina kembali menatap layar televisi. "Kenapa manggil-manggil?"
"Lah, berasa dia bosnya di rumah. Ini yang punya rumah siapa coba," gumam Azka. "Mau makan apa?"
"Kamu bisa masak?" tanya Dina dengan antusias.
"Nggak."
"Terus?"
"Ya belilah. Nanti Nino yang beli."
"Is. Kirain."
"Yaudah mau makan apa? Orok? Ayam idup? Atau apa?"
"Isss," desis Dina. "Apa aja. Yang penting makanan manusia."
"Dih, Iblis kok ngaku-ngaku manusia. Pengen banget apa," gumamnya.
Selepas Azka berbicara pada Nino, ia kembali ke ruang tamu untuk menonton televisi bersama Dina.
Baru saja Azka duduk, Dina sudah menatapnya dengan tatapan tajam.
"Kamu tuh siapa, sih, sebenernya? Terus aku siapa? Kenapa kamu perduli sama keselamatan aku?"
Azka menghela napasnya,"Panjang ceritanya. Ntar aja gue kasih tau, kalo pengen."
Mata biru anak perempuan itu menyala, tanpa disadari oleh sang empunya.
"Oke, oke, gue kasih tau," ucap Azka yang mendadak kikuk kala melihat mata milik Dina. "Gue ini pengantin lo. Apa, ya, bahasa manusianya? Hm, su...su...sumay."
Dina mendesah,"Suami maksud kamu?"
"Nah, itu. Tadi gue juga mau ngomong itu."
"Kamu lagi ngarang cerita, ya? Gimana mungkin kamu jadi suami aku? Nikah aja belum, kenal aja nggak."
"Duh, susah nih jelasinnya," Azka menggaruk kepalanya. "Gini deh gini, pada suatu hari, lo dibawa ke Alam Langit sama Dewa Penjaga di Bumi. Terus, kita dinikahin. Dan, orang yang tinggal selama ini sama lo, itu Dewa Penjaga. Udah, singkatnya gitu."
"Kenapa dibawa ke Alam Langit?"
Azka menggaruk kepalanya,"Karena orang tua lo mengorbankan hidupnya untuk hidup lo yang dibilang dokter gak bisa hidup lama dengan memohon ke Dewa Agung," jawabnya berbohong.
Giliran Dina yang sekarang garuk kepala. "Kamu bilang kamu Dewa, emang Dewa bisa nikah sama manusia?"
"Bisa. Ini buktinya gue sama lo."
"Terus, kalo kamu bilang, kamu suami aku. Mana buktinya? Kamu kemana selama ini? Kok aku gak inget sama kamu? Terus aku siapa? Dewi?"
Azka menarik napasnya dan menghentakkannya,"Complicated. Intinya, gue suami lo."
"Bohong."
Kesal dibilang bohong terus-terusan, Azka berdiri untuk meninggalkan Dina,"Gak dikasih tau, salah. Udah dikasih tau, dibilang bohong. Emang, ya, perempuan. Udah kayak nerjemahin getaran amplitudo. Susah."
"Is."
Dug.
Sebuah bantal di ruang tamu melayang dan mengenai Dina. Di ujung ruanngan, Azka tertawa seraya berteriak,"Maaf, sengaja."
Dina tersenyum. Entah kenapa.
Diantara berbagai macam pertanyaan yang ia punya sekarang, ia masih memiliki alasan untuk sedikit tertawa. Setidaknya, itu yang bisa ia lakukan saat ini.
"Oh, iya, Bi Nah, gimana, ya?" Dina teringat akan perempuan yang selama ini mengurusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Azkadina
FantasySegala bentuk cerita, penokohan, dan tempat adalah fiktif dan kebutuhan jalan cerita belaka. Tidak bermaksud untuk menyinggung salah satu agama/ras rertentu. •••••••••••••••• "Satu hal yang tidak boleh dilanggar dari pernikahan terlarang ini. Salah...