A 14

143 12 1
                                    

***

Sepeninggalan Azka, Dina hanya meringkuk di atas kasurnya. Ia bahkan mengabaikan panggilan dari Yuki di ponselnya.

Ia masih saja menangis, sampai tanpa sadar ia tertidur.

Melihat Dina yang sudah tertidur pulas, Azka masuk dan membenahi posisi tidurnya.

Ia juga memberikan selimut untuk menutupi tubuh Dina dari hawa dingin. Tidak hanya itu, Azka bahkan membereskan rumah yang sedikit terlihat berantakan setelah dintinggal Bi Nah kembali ke Alam Langit.

Saat ia bosan, Azka biasa bermain-main dengan anginnya. Dan, itulah yang ia lakukan sekarang. Ia membuat angin tepat di atas tubuh Dina yang sedang tertidur.

Membuat perempuan itu kadang meringis kedinginan. Dan, membuat rambut perempuan itu berantakan.

Dewa jahil.

Azka senang membuat Dina kesal. Bahkan sampai ingin menangis.

Tapi, ia tidak senang membuat Dina sedih. Apalagi, sampai membuat Dina menyuruhnya untuk pergi.

Demi keselamatan Dina, Azka akhirnya memutuskan untuk bermalam di rumah Dina.

Keduanya tertidur lelap. Di satu ruangan yang sama. Meski tidak satu tempat tidur, tapi ini kali pertama Azka tidur dalam satu ruangan dengan Dina.

Membuatnya tidak perlu khawatir akan keselamatan Dina yang bisa ia lihat hanya di depan mata.

Sebelum itu, Azka sempat untuk mencium dahi Dina dan mengucap selamat tidur.

"Mimpi indah, anak Ib... Dina maksud gue."

-

Pagi-pagi sekali, Dina sudah bersiap untuk berangkat kerja.

Tapi, ia dikejutkan oleh berbagai macam makanan yang sudah tersedia di atas meja. Awalnya, ia terkejut. Namun, akhirnya ia mengabaikan semua makanan, dan bergegas pergi.

Ia bahkan tidak sama sekali menyentuh makanan yang disiapkan Azka.

"Pagi," sapa Dina pada setiap orang yang ia temui selepasnya turun dari ojek online.

Dina menebar senyum pada setiap orang yang lewat.

"Yuki!" panggil Dina.

Yang dipanggil menoleh, dan memberikan pelukkan.

"Kangen banget gue sama lo."

"Iya, gue juga kangen, kok."

"Gue khawatir banget semalem lo gak angkat telfon gue. Lo kemana, sih? Belakangan ini lo ilang-ilangan. Lo gak apa-apa?"

Dina teringat semalaman ia meringkuk, tak hentinya menangis.

"Gak apa-apa," balas Dina seadanya. "Eh, liftnya udah kebuka."

Dina dan Yuki mensejajarkan langkah, berbagi tawa, saling merangkul satu sama lainnya. Untuk sesaat, Dina seolah lupa dengan alasan mengapa ia bersedih semalaman penuh.

Untuk sesaat juga, tiba-tiba Dina mendadak rindu.

Rindu yang entah datang darimana dan untuk siapa.

"Pagi, Dina," sapa Zidan.

Yang langsung mendapat balasan sebuah senyuman manis dari sang pemilik senyuman.

"Eh, gue duluan," Yuki pamit, dan diiyakan oleh Dina.

"Gimana? Udah sembuh?"

Dina mengangguk,"Udah. Makasih, pak Zidan."

Mendengar Dina memanggil namanya seperti itu, membuat Zidan semakin rindu akan sosok perempuan yang berhasil membuatnya jatuh cinta sejak pertama bertemu.

"Saya rindu."

"Saya Dina."

Keduanya tertawa.

Receh.

"Nanti malem, sibuk?"

Dina berpikir sejenak, sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya. "Nggak."

"Mau nonton?"

"Boleh."

Dina dan Zidan berpisah setelah akhirnya laki-laki itu berhasil mengajak Dina berkencan nanti malam.

Dina boleh bernapas lega, karena tanpa kehadiran Azka, datingnya pasti berjalan mulus.

Semulus jalan tol.

Dibalik tawa Dina yang sumringah, di sana, disudut yang tak terlihat, ada sosok yang sejak tadi menahan amarahnya.

"Udah gue bilang, gue gak suka liat lo ketawa," Azka memegangi dada kirinya yang terasa nyeri. "Apalagi sama orang lain."

Berusaha untuk mengabaikan perasaan anehnya, ia memilih untuk pergi.

Tenang, Dina sudah ia lindungi dengan beberapa kekuatan angin yang diberikan pada perempuan itu. Jika ada yang mengganggunya, sudah pasti Azka akan tau dan datang dalam hitungan detik.

AzkadinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang