05

4.3K 90 0
                                    

Chapter V

Jendra dan Hayse

Malam itu, saat aku sedang berada di Paris dengan seorang teman dan juga sepupuku, Kihara Asahaka. Dalam diam dan damainya kota paris aku hanya duduk termenung melihat ke arah Jendela, dan menikmati cahaya yang memancar dari menara Eiffle.

Kami menginap di hotel yang jaraknya cukup dekat dengan menara itu. bukan aku yang memilih tempat ini, namun Kihara sendiri. Aku mana mungkin bisa memilih tempat yang mementingkan suasana seperti itu.

Dering ponselku lagi-lagi berbunyi. Ini sudah ke sekian kalinya benda itu berbunyi, dalam setiap hariku atau bahkan mungkin sekarang akan menjadi seumur hidupku, aku tidak akan bisa tenang.

Nomor asing selalu saja muncul, dan aku tahu itu dari rekan kerjaku. Mau tidak mau aku harus mengangkatnya karena itu sangat penting. Perusahaan ini sangat penting bagiku, tanpa perusahaan ini keluargaku tidak bisa hidup tentram.

Harus ada satu orang yang menjadi korban dari tentramnya keluargaku, yaitu aku. aku rela, demi diriku dan demi Clare. Aku rela menjadi direktur di usia muda, hanya demi menghidupi aku dan Clare. Biaya hidup Clare sangat banyak, aku tidak bisa melihatnya menderita karena kemiskinan.

Sejak ayah meninggal, dan perusahaan dipegang kendali oleh orang lain karena aku masih terlalu dini. Perusahaan terus mengalami kemunduran, jadi aku maju lebih dulu berkat dukungan dari orang-orang.

Mereka percaya, karena aku anak yang sangat pintar dan cerdas, karena aku meraih banyak prestasi dibidang akademikku. Tapi, aku tidak merasakan apapun, aku hanya melakukannya seperti biasa. apakah aku termasuk anak yang beruntung?

Di usia 21 tahun tepatnya, aku memutuskan untuk mengambil kendali atas perusahaan ayahku. Rasanya aneh awalnya, banyak para rekan kerjaku yang masih asing dipikiranku. tapi perlahan dengan cepat aku tahu, banyak sekali permainan dalam sebuah bisnis itu. semuanya bisa terlihat dengan Jelas, bahkan ketika kau berbohong, mengkritik seseorang atau bahkan meninggikan harga diri. Semuanya terlihat dengan jelas.

Rasanya memuakkan, ini belum saatnya bagiku. Aku merasa kosong, tidak ada yang mengerti perasaanku saat ini. Kalaupun mengerti tidak ada yang bisa berbuat apapun.

Aku berubah, aku merasakan perubahan itu. entah itu bagus atau tidak, aku tahu orang seperti apa jika sedang berbohong. aku juga jadi pandai memainkan suasana. Menatap seseorang begitu dalam, dengan begitu aku bisa tahu maksud dari orang tersebut mendekatiku.

Mereka mencari keuntungan.

"jendra, woi jendra!"

Lamunanku buyar, saat Kihara mengguncang bahuku dan tangannya melambai-lambai didepan mataku. Aku mengedipkan mataku berkali-kali, supaya menjadi sedikit lebih sadar.

"kebiasaan deh, jangan suka melamun itu bahaya." Ucap Kihara.

Aku memijit pelipis kepalaku, terasa pusing sedikit. "ada apa?" tanyaku pada Kihara.

"ayo keluar! Gue bosan dikamar terus. Mumpung lagi waktu senggang gimana kalau kita makan diluar, dengar-dengar makanan disini lezat semua." Katanya.

"kalau makan di restoran hotel gue ikut. Gue gak mau keluar,"

"yah, ya sudah deh makan di restauran aja. Cepetan, gue lapar." Ujar Kihara.

Pada akhirnya, lamunanku selalu saja dibuyarkan oleh Kihara. Sejak dulu mungkin, sejak kami bersekolah bersama ataupun dimana pun dia selalu menyadarkanku kala aku sedang melamun.

Aku tidak makan, dan hanya melihat Kihara yang memakan makanan begitu lahapnya. Dia memang tukang makan. Daripada menganggur dan hanya memainkan ponsel aku berjalan kearah meja sebuah bar, dan memesan segelas Wine.

Me & Introvert HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang