10. Jalan pintas

284 19 16
                                    

Liburan berakhir.
Semenjak kepulangan dari Brussels. Darwin dan Sandra terlihat semakin dekat. Hal itu terlihat jelas di mata Denaya. Saat tiba di bandara pun, Darwin bersedia mengantar Sandra pulang, dikarenakan dia tidak ada yang menjemput.

Kini, mereka berada dalam mobil. Darwin menyetir mobilnya, Denaya duduk di sebelahnya, sedangkan Sandra duduk di kursi belakang. Tidak ada percakapan di antara mereka. Darwin fokus menyetir, tatapannya lurus ke depan. Diam-diam Denaya melirik ke belakang melalui spion mobil depan. Ia melihat Sandra tengah memandang Darwin dengan tersenyum-senyum. Merasa Denaya memerhatikannya, Sandra menoleh ke spion, mata mereka beradu di sana.

Sandra telah ketahuan memandang Darwin. Semestinya dia merasa tidak enak atau beralih pandang ke sisi lain, berpura-pura tidak melihat. Bukannya demikian, Dia malah melontar senyum kecut kepada Denaya, dan tanpa rasa malu, Ia kembali memandang Darwin sejadi-jadinya. Membuat Denaya mendidih sampai ke ubun-ubun.

Denaya tak terima kekasihnya dipandangi gadis lain, apalagi gadis itu mantan pacarnya. Dia mengamit manja lengan Darwin, menyandar kepala di bahunya.

"Aku mengantuk," Denaya berujar manja. Sekilas, ia melihat Sandra yang telah beralih pandang dengan ekspresi kejenuhan.

Darwin mengecup puncak kepala Denaya. "Pasti kelelahan, ya? Sebentar lagi sampai. Tidur saja dulu."

"Iya."

***

Devian menopang dagunya memerhatikan Flower mengemasi barang-barang miliknya.

"Percuma kau mengemasi barang-barang ku. Aku tidak akan pulang," tukas Devian bermuram durja.

"Kau ini seperti anak kecil saja," sahut Flower sambil terus melipat pakaian.

"Biarlah." Devian mengambek.

Flower cekikikan melihat gelagat Devian. "Kau harus pulang, Ian. Mulai besok kau mesti kuliah seperti biasa."

"Kau kan mesti kuliah juga," sambar Devian, "kau juga kuliah di tempat yang sama seperti aku, bukan?"

"Hmm." Flower berdehem kecil.

Devian menelisik Flower tanpa berpaling. Seterusnya, Ia menghambur memeluk Flower dari belakang, melingkarkan tangannya pada pinggang Flower, menarik dia dalam pelukannya sehingga menyentuh dadanya. Degup jantung Devian tak beraturan. Tangannya terangkat mengambil rambut Flower yang menjuntai di bahu membawanya ke belakang. Lalu, Devian meletakkan dagunya di ceruk leher Flower. Mencium aromanya di sana, matanya terpejam menghirup aroma Flower. Ia menggesek-gesekkan hidung di kulit lehernya, membuat Flower berjengit pelan.

"Ian. Ak aku, Ekhemm." Flower berdeham menetralkan keterkejutannya. "Apa yang kau lakukan? Aku belum selesai mengemas. Lepaskan."

Flower menurunkan tangan Devian yang membelitnya. Sedikit demi sedikit tangannya mulai melonggar turun.
Lagi, Devian melingkarnya kembali, memeluknya semakin erat. Tak hanya sampai di situ, Devian mulai memainkan bibirnya.

"Ian," panggil Flower bernada memperingati.

"Sebentar saja, Flower." Devian mengangkat wajahnya, meletaknya di bahu Flower. "Aku belum pernah mencium aroma dari pada lain yang lebih harum dari aroma mu... Aku juga belum pernah menyentuh apapun itu yang lebih lembut daripada kulitmu."

Flower melotot, ia melepas dengan menghentak tangan Devian. Kali ini benar-benar terlepas. Ia berbalik menghadap ke arahnya. Dan, lagi, secepat kilat Devian memeluknya dari depan. Flower terbelalak, ia mendorong lengan Devian, namun sia-sia.

FLOWERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang