Sayonara, Misaki

556 38 6
                                    

“Apa kau sungguh-sungguh akan pergi?”

“Kau sudah menanyakan itu sebanyak 10 kali dalam 1 jam ini Misaki.”

Keduanya kembali terdiam. Keiko dan Misaki sedang berada di lapangan Furano. Ini merupakan hari terakhir kebersamaan mereka karena Keiko harus pindah bekerja ke Indonesia.

“Bagaimana kalau kita tak pernah bertemu kembali?” Raut wajah Misaki berubah menjadi khawatir.

“Sejak kapan kau menjadi bersedih begini? Kita pasti akan bertemu kembali Misaki.”

“Aku menjadi melankolis begini saat aku sadar bahwa ini adalah hari terakhir bertemu denganmu Keiko.”

“Sudahlah Misaki, kau membuat suasana menjadi semakin sedih.”

“Aku berjanji akan terus membawa Furano menang, untukmu.”

Hati Keiko menghangat saat Misaki berkata seperti itu. Laki-laki yang selama ini disukainya kini mengkhawatirkan kepergiannya. Dia juga tak ingin berjauhan dengan sang pujaan tapi apa daya jika ayahnya sudah memerintah.

“Salju pertama.” Kata Keiko mencoba megalihkan pembicaraan yang mulai menyedihkan ini.

“Senang sekali bisa merasakan salju pertama bersama denganmu Keiko. Mungkin ini salju terakhir yang kau lihat di Jepang.”

Perkataan Misaki mampu menusuk hati Keiko. Ada rasa bahagia karena Misaki tak lagi bersedih, namun ada rasa sakit saat mengingat ini salju terakhir yang dilihatnya bersama Misaki.

“Aku punya sesuatu untumu Keiko.”

“Apa?”

Misaki merogoh kantong saku jaketnya. Sebuah kotak kecil dengan pita biru, warna kebesaran Furano.

“Apa ini?”

“Buka saja.”

Keiko meraih kotak itu dan membukanya. Sebuah case handphone berwarna senada dengan pitanya. Bertuliskan nomor 11. Nomor punggung yang selalu digunakan Misaki.

“Untukku?”

“Agar kau selalu mengingatku.”

Padahal tanpa perlu Misaki berikan case itu Keiko sudah pasti tidak bisa melupakan Misaki. Dengan segera Keiko mengeluarkan handphonenya dan dipakainya case itu. Keiko tersenyum sumringah melihatnya. Dia senang. Dengan melihat handphonenya saja dia sudah bisa membayangkan wajah Misaki.

“Terima kasih Misaki. Aku juga punya sesuatu untukmu.”

“Apa itu case juga?”

“Bukan.”

Keiko melingkarkan tangannya kebalik lehernya sendiri dan meraih kail kalungnya. Misaki yang bingung hanya melihat apa yang akan dilakukan Keiko.

“Ini untukmu.”

“Kalungmu? Tapi ini kalung berhargamu. Apa kau masih ingat seberapa lamanya kau menangis saat kalungmu ini hilang di pertandingan melawan Shimada?”

“Ini memang kalungku yang paling berharga, maka dariitu aku memberikannya pada orang yang berharga juga.”

“Maksudmu aku berhaga bagimu?”

Merasa keceplosan, Keiko hanya menunduk malu. Misaki yang menyadari perubahan Keiko hanya tersenyum miring. Dia meraih kalung itu dan disematkan dilehernya. Kalung perak dengan liontin MK.

“Seharusnya kau membuat liontin KM, namaku kan Kazuo Misaki.”

“Tapi namaku Mizuki Keiko.”

Faith And HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang