05 - Hero Kepagian

100 11 25
                                    

Hero Kepagian

Chap 5

.
.
.

Peluh menetes di dahi Maya, padahal hawa masih dingin khas pagi-pagi buta. Terlihat bercak merah di kerah bajunya. Lampu sorot dipadamkan, Maya seperti bayang-bayang samar yang menebas habis musuh dalam diam. Apalagi sekarang, ia berdiri tegap di tengah gelimpangan mayat –yang masih bernapas, tapi tak sadarkan diri.

Terdengar heroic banget?

Sayangnya, Maya itu-

“Aduh!”

-sedikit ceroboh.

Masa’ dengan pose begitu, ia malah tersandung sama cowok-cowok yang udah dibuat K.O olehnya. Levelnya Maya, mah, udah gedhe, yang udah tamat bangku abu-abu. Untungnya, dari kecil Maya dididik nggak punya ati waktu ngehajar musuh sama Bokapnya. So, kalau sampai tuh musuh belum pingsan, Maya bakal hajar terus pantang mundur.

Selain itu, sifat kerasnya didukung dengan-

“Ngehalangin jalan aja!”

-Jiwanya yang emosional.

Namanya juga nggak sadar, elah, nggak bakal nyingkir. Orang pingsan aja dinyinyirin sama Maya, apalagi yang hidup. Kayak si Candra yang kemarin nendang tong sampah kena Maya.

Kali ini, di hari kelima, Maya punya kejutan.

***

Berhubung hari Minggu, Maya langsung cus ke rumah Candra setelah apel pagi ngehabisin 10 cowok yang udah tuntas SMA.

Kok?

Emang Maya tahu dimana rumahnya?

Tahu dong, masa Maya nggak tahu.

Dia, sih, dikasih tahu anak buahnya yang kebetulan dapet bagian kecamatannya si Candra. Plus, dianterin anak buahnya juga yang punya sambilan profesi Go-Jek.

Bayar? Maya udah masuk golongan petinggi, kok, ya, masih ditagih. Bisa-bisa dua anak buahnya disetrap, suruh push up 1000x. Atau paling parah, dipecat dan digencet antek-antek se-geng selama tujuh turunan. Ngeri banget.

Maya menekan bel. Lalu, matanya jelalatan melirik sana-sini lihat detail rumah Candra dibalik pagar. Rumahnya kecil bin mini. Sederhana juga, sih, walau di tengah kampung yang benar-benar tak ada space longgar tuk sekadar bercocok tanam. Cuma itu yang bisa Maya simpulkan -ralat, rasakan. Maya yang kayak gini, lebih percaya intuisi hewan daripada otak manusia.

Tak lama, Candra muncul dari dalam. Wajar, jam setengah lima Candra baru bangun tidur, eh, udah nongol aja jelmaan setan. Masih dengan wajah melongo dan piyama panjang biru muda, Candra gemetaran menunjuk Maya. Dikira hantu, kali.

Begonya, Maya malah nengok ke belakang. Otaknya nggak bisa dibuat mikir lihat Candra pakai piyama panjang biru muda. Agak jijay, Maya aja nggak pernah tidur pakai piyama panjang, warna biru muda lagi. Paling banter Maya tidur pakai kaos longgar sama training.

Mata Candra yang masih kriyep-kriyep 5 watt, nggak bisa mastiin itu benaran Maya apa bukan. Cuma bisa pasrah buka pagar dan melihat tamu kepagian lebih dekat.

“Lu? Ngapain di sini?” Akhirnya, Candra sudah bisa lihat kalau itu benaran jelmaan setan. Maya nyengir kuda ditanyain Candra.

Candra dilema. Kalau nggak dibolehin, Maya ngamuk. Kalau dibolehin, rumahnya bakal ancur. Maya, kan, nggak cocok kalau dikasih habitat kayak begini. Tapi, siksaan Maya malah makin menjadi kalau nggak dibolehin. “Ya udah sini, masuk dulu. Sorry, masih belum beberes, kemarin teman gua abis ke sini semua.”

CandraMayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang