Cuaca cukup cerah dan panas di musim semi. Yah, bisa dikatakan musim panas akan menyapa sebentar lagi. Di balik tirai jendela kamar berwarna merah muda, seorang gadis sedang memoleskan make-up dengan perlahan. Hiasan wajahnya tidak terlalu mencolok, tetap natural namun cantik. Cukup sesuai dengan umurnya yang masih muda. Setelah memberikan polesan terakhir pada bibirnya, gadis itu lalu menyisir rambutnya. Sengaja ia mengurai rambutnya yang panjang sebahu itu. Biasanya, gadis itu mengikat rambutnya. Jika tidak diikat, akan terdengar suara menggelegar yang bisa nyaris memekakan telinga. Seperti–
"Jihye! Kau sudah selesai?" teriak seorang wanita paruh baya memanggilnya. Jihye sedikit terlonjak mendengar namanya dipanggil bagai suara gemuruh.
"Ibu! Kan sudah kubilang jangan teriak seperti itu!" ujar Jihye.
Seorang wanita masuk ke dalam kamar Jihye dengan sedikit tergesa dan kesal. Wanita itu mengenakan pakaian yang sangat rapi, dan terkesan norak menurut Jihye.
"Kau ini lama sekali berdandan! Ibu kan sudah bilang berdandanlah dua jam sebelumnya. Susah sekali dibilang!" seru ibunya lagi, "Kau belum pakai dress-nya?! Aigoo!"
Ibu Jihye pun mulai mengobrak-abrik lemari baju milik gadis itu untuk mencari gaun yang diinginkan.
"Ibu, pakai baju begini saja tak apa, bukan?" tawar Jihye dengan malas. Gadis itu menopang dagunya di meja rias, memperhatikan tingkah ibunya yang seperti orang kebakaran. Ia mengenakan kemeja tanpa lengan berwarna hitam, dipadu dengan jeans berwarna biru tua yang gelap, tak lupa sepatu sneakers hitam kesukaannya. Hanya rambutnya saja yang tidak hitam. Rambut gadis itu berwarna sedikit merah kecokelatan.
Ibunya berjalan ke arahnya dengan sebuah gaun berwarna peach, lalu memukul pundak Jihye.
"Kau akan bertemu calon mertuamu dan calon suamimu! Jangan membuatku malu!" ujar ibunya dengan geram, lalu memberikan gaun itu pada Jihye, "Cepat pakai! Dalam waktu tiga menit kau sudah harus ada di bawah!"
Ibu Jihye pun turun kembali ke lantai bawah, meninggalkan Jihye yang murung dan melihat gaun peach selutut yang ibunya belikan kemarin.
"Padahal aku suka warna hitam," gumamnya dengan lirih.
Tiga menit kemudian, dengan sepatu heels yang tidak terlalu tinggi, ia dan ibunya menyambut tamu yang datang ke rumah mereka.
***
"PD-nim, kita sudah menghubungi Stars Enterteiment untuk meminta artis mereka bekerja sama dengan acara kita," ujar seorang pria berparas kurus sembari membaca laporan yang ia pegang.
Pria yang diajak berbicara itu tidak menyahut, dan sedang sibuk membaca beberapa berkas dengan serius.
"Selain itu, artis dari JM Enterteiment sudah setuju untuk mengisi acara bersama kita nanti," tambahnya lagi. Karena tak ada jawaban dari atasannya, pria itu mulai kesal.
"PD-nim, kau... dengar apa yang aku katakan?" tanyanya lagi.
Pria yang dipanggil 'PD' itu mengangguk tanpa memandang lawan bicaranya, "Aku dengar semuanya, Jaehyun. Kau bisa pergi sekarang. Beberapa pemberitahuan bisa kau kirim lewat pesan nanti karena aku ada urusan keluar."
Jaehyun menghela nafas dan akhirnya mengangguk lalu permisi dari meja atasannya itu.
Pria berkaca mata itu kembali menekuri beberapa berkas yang terkadang membuatnya menghela nafas. Sedang seriusnya ia pada tugasnya, tiba-tiba sebuah panggilan berbunyi. Melihat nama pemanggilnya di layar handphone, pria itu memejamkan mata sejenak dan melepaskan kaca matanya.
"Halo, Eom–"
"YAK, KIM MINSEOK! Di mana kau sekarang?!"
Seketika pria itu menjauhkan handphone-nya ketika mendengar suara pangilan ibunya lewat telepon. Lalu tak lama ia mendekatkannya lagi ke telinga.
"Aku masih di kantor, Bu," jawabnya.
"Yak! Cepatlah kemari! Kau ini membuatku malu! Kami sudah di sini setengah jam yang lalu dan kau belum tiba juga, hah?!"
"Baiklah, aku ke sana sekarang." Minseok lalu mematikan sambungan dan dengan segera pergi dari kantornya.
"Kim PD, ini ada laporan–"
"Kirim lewat e-mail!" seru Minseok berjalan cepat melewati rekan kerjanya yang hendak menyerahkan laporan.
"Kenapa pria itu terburu sekali? Susah payah aku mencetak laporan ini!" ujar Jimin sedikit kesal sembari melihat laporan di tangannya yang cukup tebal.
***
"Ah, maafkan anakku, Nyonya Ryu. Dia itu suka sekali fokus pada pekerjaannya sehingga suka lupa waktu," ujar wanita yang duduk di seberang Jihye dan ibunya.
"Tidak apa-apa, Nyonya dan Tuan Kim. Kedatangan kalian saja sudah membuatku senang," jawab Nyonya Ryu, ibu Jihye.
"Senang sekali rasanya bisa menjodohkan putra putri kita dalam pernikahan. Kuharap, Jihye juga tidak keberatan," ujar Tuan Kim tersenyum menatap Jihye.
Jihye juga ikut tersenyum tipis, "Saya tidak keberatan, Tuan Kim. Selama bisa memenuhi keinginan mendiang ayah saya."
"Hm. Aku dan ayahmu sudah berteman lama sekali semenjak sekolah dulu. Tidak kusangka ia meninggal setahun yang lalu. Dan permintaannya adalah menikahkanmu dengan putraku setahun setelah ia meninggal," ujar Tuan Kim sedikit menerawang masa lalu. Keadaan ruangan menjadi sedikit lebih suram karena mengingat sosok ayah Jihye yang sudah meninggal.
"Dengan mewujudkan keinginan Ayah, aku yakin ia akan bahagia." Jihye kembali berbicara untuk mencairkan suasana. Tidak baik juga bersedih di saat seperti ini.
Tuan Kim dan istrinya tertawa kecil.
"Jihye memang gadis dengan aura positif! Aku yakin putraku akan menyukainya. Ah, sifat mereka berbeda sekali!" komentar Nyonya Kim.
"Memangnya bagaimana putramu? Yah, kita baru bertemu ketika di rumah sakit. Dan lagi putramu juga tidak bisa datang. Jadi aku tidak tahu bagaimana dia," kata Nyonya Ryu.
"Ah, dia pria yang dingin, cuek, dan penggila kerja. Dia juga bekerja dalam bidang yang sama dengan Jihye," jawab Nyonya Kim tersenyum.
Jihye tersenyum, namun perlahan ia merasa heran.
Bekerja dalam bidang yang sama?, gumamnya dalam hati.
"Ah begitu. Harapannya semoga kalian bisa saling melengkapi ketika menikah nanti," ujar Nyonya Ryu tersenyum.
"Dan jangan lupa berikan kami cucu nanti!" tambah wanita Kim itu, dan seketika ketiga orang tua itu tertawa. Sementara Jihye hanya tersenyum tipis, sekaligus sedikit miris.
Gadis itu menundukkan kepalanya dan merenung. Diumurnya yang baru menginjak dua puluh empat, kenapa ia harus menikah muda seperti ini. Jihye sedikit berharap pria yang akan dijodohkan dengannya berparas tampan. Selera masyarakat paling tidak, begitu pikirnya.
"Permisi,"
Sebuah suara menginterupsi tawa mereka. Jihye mendadak gugup. Ia tidak berani mengangkat kepala untuk melihat calon suaminya itu.
"Ah, ini dia yang ditunggu datang juga!" seru Nyonya Kim ketika pria itu masuk.
"Maafkan aku datang terlambat, Eommoni."
"Wah, calon menantuku tampan sekali! Tidak masalah, Nak!" jawab Nyonya Ryu senang.
Jihye sebenarnya senang mendengar calon suaminya tampan. Namun rasa senang itu berubah menjadi bingung, karena ia mengenali suara pria itu.
"Ini calon istrimu, Minseok,"
Minseok?!
Jihye dengan cepat mendongak untuk melihat siapa calon suaminya itu. Dalam sepersekian detik sebelum mengangkat kepalanya, gadis itu berharap bahwa ia salah mengira. Namun dalam sepersekian sekon itu juga, harapannya musnah. Dan ia dikelilingi rasa terkejut dan ngeri di saat bersamaan.
"Kau..."
"PD-nim!"
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Married The Producer ✔️
Romance["MARRIED" SERIES #1] Apa yang akan kalian nilai dari sosok Kim Minseok ketika pertama kali bertemu? Dia tampan? Pasti. Dia mapan? Tentu saja. Berpendidikan, mandiri, calon menantu dan suami idaman? Semua predikat itu ada padanya. Dia baik hati dan...