Tak terasa, 7 bulan sudah kami lalui bersama, suka dan duka menghiasi hari-hari kita. Tak jarang pertengkaran antara kami pecah, dan memaksa kedewasaan kami tuk menyelesaikannya. Dan jujur saja, aku sering membuat luka di hatinya. Entah kenapa, aku tak sadar dengan apa yg kulakukan, aku tak tahu apa yang harus aku perbuat lagi. Hanya kata "Maaf" yang kuutarakan kepadanya.
Hingga datang di suatu masa. Aku merenung,
"Begitu banyak luka yang telah kutorehkan, begitu banyak kesedihan yang tak mampu kuhapuskan. Apakah yang harus kulakukan Tuhan ?? Apakah dengan berpisah mampu menyelesaikan setiap kesedihan?" itu yang kupikirkan
"Tapi aku menyayanginya Tuhan, aku tak sanggup menahan setiap kepedihan ini Tuhan. Kami sudah saling mencinta Tuhan, aku tak sanggup membayangkan kepedihannya. Mungkin aku masih bisa bertahan, tapi bagaimana dengannya ??", Aku begitu frustasi.
Hingga di suatu ketika, aku menyendiri, memandang foto wajahnya, lama dan lama kemudian. Aku mengambil sebuah pensil dan penghapus, lalu kubuka lembaran putih buku bertuliskan " Drawing Book" dan mulailah kugoreskan pensil itu. Mengikuti alur jari ini menuntun, seirama dan satu suara. Membentuk sebuah sketsa yg ada dalam benak dan rasa.
Melahirkan sebuah mahakarya yg tak ternilai harganya, lukisan wajahnya, kini dapat kunikmati, dan dapat menjadi pelipur hati. Sungguh tak tegaku dengannya, namun apa daya ini sudah menjadi takdir kami. Aku tak ingin menambah kesedihannya, mungkin ini yang terbaik. Usia kami masih terlalu muda, mingkin menunggu usia kami layak, dan . . .
Itu sebuah keputusan yang membingungkan, aku telah berjanji kepadanya,
"Tunggu diriku setelah lulus nanti, aku pasti datang ke rumahmu," Itu janji yang belum kutepati,
Aku yakin, dia mendengar apa yang aku katakan, dan memahami semua keputusan yang aku ambil. Dengan segenap tekad yang telah kukumpulkan, akhirnya kuberanikan diri untuk bercakap 4 mata dengannya.
Aku sungguh tak sanggup tuk menulis semua kata yg telah kuucapkan kepadanya. Tangis pun pecah di antara kami, kesedihan pun bagaikan tak dapat dibendung lagi. Begitu banyak kisah di antara kami, dan itu semua bagai hancur tiada sebab dan kejelasan. Mungkin sebuah peribahasa benar terjadi,
"Penyesalan datang di Akhir"
Tujuanku sebenarnya agar kami yang masih muda ini, yang belum sepantasnya menjalin hubungan asmara, bisa terhindar dari dosa. Namun, mungkin penyampaianku salah. Waktuku tidak tepat dalam penyampaian. Dia pun menganggap itu sebagai hal lain, tak sesuai dengan maksudku. Aku tetap mencintainya, aku tetap menyayanginya, aku bahkan selalu merindunya. Hanya saja, itu semua kupendam dalam dada.
Kini, dia sudah berubah, dia sudah menganggapku tak menghargainya lagi. Sungguh suatu dilema yang teramat sulit untuk kuterima, sungguh hal yang tak dapat kuungkap dengan kata-kata.
Mungkin kalian menganggapku kejam, tapi sungguh bukan itu tujuanku, aku hanya ingin menunda hubungan ini, hingga usia mengizinkan hubungan kami.
Begitulah kisahku, penuh kenangan, penuh perjuangan, walau sebenarnya lebih tepat dibilang rintangan.
Dia sudah menjauh, aku tak mampu tuk mendekat, sebentar lagi dia genap berusia 17 tahun. Ini kesempatanku untuk meminta maaf kepadanya. Semoga semua yang kuusahakan berhasil, dan aku mendapat maaf darinya.
Di dalam kisah kami, terlahir banyak puisi, dan akan kutulis di buku selanjutnya. Jadi kalian bisa membacanya setelah kutulis buku tersebut.
Kisah tentang ulang tahunnya yang ke-17 juga akan kukisahkan, hanya saja bukan "Hujan", melainkan kutulis sebuah "Pengharapan", aku berharap dia mau memaafkanku.
Dan inilah akhir dari kisahku
"Hujan"#Note
Tunggu lampiran puisiku yg bertemakan hujan, kini kuharus berangkat ke sekolah dan menjalankan aktivitasku.The end . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Hujan (Hati yang Tak Retak)
Short StoryTAMAT!!! Berawal dari suatu masa menuju sebuah zaman refolusi kata yang menyebabkan timbulnya rasa cinta terhadap suatu rangkaian kata mutiara yang lahir dari hati nurani, Entah apa yg terlintas di pikiranku, tapi inilah yg keluar dari tinta hitamku...