ALKISAH

527 90 8
                                    

Alkisah di masa lampau, hiduplah Siti Fatimah yang kini bernama Bhanurasmi. Ia adalah putri raja penguasa Sriwijaya yang makmur nan berjaya. Keelokan laku dan parasnya berhasil memikat hati saudagar tampan kaya raya asal Negeri Tiongkok bernama Tan Bun An. Takdir bekerja dengan gila. Invasi dagang saudagar itu berkembang menjadi invasi cinta.

Seakan tertimpa durian runtuh, saudagar muda itu mendapat lampu hijau di setiap langkah dan usahanya. Tak hanya sukses mendapat pasar dagang yang menjanjikan, ia berhasil pula memenangkan hati raja dan sang putri. Tan Bun An lalu dinobatkan menjadi pangeran dalam acara pertunangan yang digelar meriah di tanah Sriwijaya. Dengan bangga pula, saudagar bertitel pangeran itu memboyong sang putri jelita ke Negeri Tiongkok untuk dikenalkan kepada ibu bapaknya.

Tak terduga, kisah cinta yang indah terjungkal bebas ke jurang nestapa. Sekembalinya dua sejoli itu dari Negeri Tiongkok, Musi tak seramah seperti ketika mereka berlayar pergi. Musi menelan tanpa sisa apapun yang datang padanya di hari naas itu. Apa daya langkah tak sampai, putri dan pangeran harus berhenti selamanya di Musi sebelum mencapai gerbang istana.

Lantas, cerita rakyat mengabadikan keduanya sebagai pasangan kekasih yang mati bersama di Sungai Musi.

Hingga saat ini, kisah cinta dua anak manusia tersebut masih menjadi legenda populer dan daya tarik wisata sebuah pulau di delta Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Pulau Kemaro namanya. Konon pulau tersebut diyakini selalu kering meskipun air sungai meninggi di musim hujan. Masyarakat setempat menobatkannya sebagai pulau cinta dua budaya yang berakhir dalam genggaman malaikat maut bernama Musi. Dalam pengertian lain, pulau tersebut dianggap sebagai kuburan dua sejoli itu.

Romantis, meskipun tragis. Siapa sangka, legenda yang termasyhur tersebut memiliki lembar-lembar terkoyak yang tak diketahui siapapun. Bukan salah sawi busuk yang memantik murka Tan Bun An dalam kesalahpahaman. Bukan pula salah orangtua yang lupa memberitahu anaknya kalau mereka hanya ingin melindungi mahar sang menantu dari ancaman perompak di lautan. Sekali lagi takdir bekerja dengan gila. Ada kuasa yang jauh lebih besar dari kehendak manusia dalam mencita-citakan kehidupan.

Percaya atau tidak, takdir membawa Putri Siti Fatimah dan Pangeran Tan Bun An lebih jauh menyelami Musi yang gelap gulita. Sebuah dimensi yang memberikan Putri Siti Fatimah kesempatan kedua untuk mendapatkan kembali kebahagiaannya. Dari seorang putri raja yang kehilangan pangerannya, ia banting setir menjadi Bhanurasmi—seorang utusan pengendali musim kemarau.

Akhir yang adil adalah impian para pencerita dan para penikmat ceritera. Putri Siti Fatimah dan Pangeran Tan Bun An bukanlah sosok Juliette Capulet dan Romeo Montague rekaan Shakespeare. Kisah cinta mereka layak mendapatkan akhir yang adil. Tak bisa diterima akal bila seorang putri bijaksana dan seorang saudagar sukses dari dua kerajaan besar—berlaku dangkal dengan mati bersama. Meskipun murka, panik, malu, sedih, dan sesal membakar darah, terlalu klise bila kompleksitas emosi menjadi faktor utama di balik tragedi yang melegenda tersebut. Tan Bun An yang putus asa dengan mudah menukar nyawa, cinta, dan masa depan gilang-gemilangnya dengan emas-emas yang ia karamkam. Sedangkan Siti Fatimah mempersalahkan diri atas segala kemalangan yang menimpa sang kekasih.

Apakah cinta patut dipersalahkan karena telah menutup akal sehat dua sejoli itu?

Ada kisah di balik kisah, lembar-lembar yang hilang akan segera tersusun rapi dalam manuskrip ini. Jadi, siapkan saja cemilanmu sebagai teman membaca.

*


Kemarau di MusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang