BAGIAN 3 : CAP GO MEH

173 38 0
                                    

Bhanu dihantam dilema besar. Di satu sisi ia sangat ingin mengabulkan permintaan Kilika, di sisi lain ia tak ingin menempatkan kredibilitas tugasnya di zona berbahaya. Ia memiliki dua cara yang bisa dilakukan. Pertama, cara bermartabat, yakni mengajukan permohonan langsung kepada Pengendali Musim Hujan. Bila perundingan bertemu sepakat, cuaca bisa diubah sesuai dengan kebutuhan masing-masing.


Hanya saja pilihan tersebut terlalu membebani harga dirinya. Tak terhitung berapa kali ia sudah meminta penangguhan hujan bila bertepatan turun di hari Cap Go Meh, Imlek, Hari Raya Aidil Fitri, Tujuhbelas Agustus, dan hari-hari besar lainnya. Keseringan minta tolong, tentu saja urat malunya jadi semakin berdenyut sensitif. Untuk alasan itulah pertimbangannya mulai tendensius ke cara kedua—yang selain kurang bermartabat—juga memiliki risiko besar. Bhanu harus membawa pengilon ke atas pulau bersamanya.


Pengilon memiliki kekuatan magis yang mampu mengekstraksi cahaya bulan. Kita semua tahu bahwa cahaya bulan berasal dari matahari. Meskipun awan melintang tebal di angkasa, pengilon tidak akan gagal menggeser awan jenis apapun yang berada vertikal di atasnya.


Dengan kewarasan tingkat tinggi, akhirnya Bhanu memutuskan untuk melakukan cara bermartabat. Sepanjang siang menjelang sore tak henti-hentinya ia berusaha menghubungi sang Pengendali Musim Hujan. Apesnya, entah masalah apa yang sedang terjadi, telepatinya sama sekali tak berfungsi. Namun ia belum menyerah semudah itu.


Beralih ke cara modern, Bhanu mencoba menghubungi line telepon dan meninggalkan pesan di semua akun media sosial milik sang Pengendali Hujan. Usut punya usut, setelah melakukan pengecekan singkat, terpapar fakta bahwa selama beberapa pekan belakangan ini tak ada aktivitas online yang dilakukan oleh utusan satu itu. Menjelaskan bahwa beliau sangat sibuk berenang di awan. Mungkin sedang kewalahan memperbaiki letak titik jenuh awan mendung yang sering diacak-acak oleh pawang hujan bayaran dari bangsa jin dan manusia.


“Oh. Apa yang harus aku lakukan sekarang?”


Bhanu berpikir keras sambil mondar-mandir dan mengoceh pada diri sendiri. Cara bermartabat yang ia andalkan sama sekali tidak memberinya kesempatan, membuatnya terdorong secara mental untuk segera mempersiapkan diri mengeksekusi cara kedua. Adrenalin Bhanu seketika terpacu meski keraguan terus membebani. Ia remas kepala dan rambutnya. Terlalu lama berpikir membuatnya diserang vertigo.


Fortes fortuna juvat, keberuntungan memihak pada para pemberani.”


Bhanu berhenti mondar-mandir dan terduduk di tepi ranjang. Kedua tangannya pun berhenti menjambak rambut sebagai usaha mengurangi efek vertigo. Tiba-tiba saja ia teringat pada sebuah pepatah romawi kuno milik Cicero, di mana pepatah itu menyeretnya kembali ke dalam lingkaran nostalgia yang sama.


Ketika memutuskan untuk melompat ke sungai, Bhanu (yang kala itu adalah Putri Siti Fatimah) jelas memiliki keberanian yang luar biasa untuk menyusul pangeran dan prajurit yang tak kunjung muncul dari dalam sungai. Sampai saat ini, orang-orang tentu masih berpikir bahwa yang ia lakukan adalah semacam usaha bunuh diri. Sebuah potret dari tragisnya keputusasaan.


Keputusan untuk melompat ke sungai demi mencari pangeran jelas dianggap tolol dan naif oleh siapapun. Tetapi begitulah adanya. Ia sama sekali tidak berniat bunuh diri meskipun tahu risikonya sama seperti bunuh diri. Ia paham betul bahwa tidak mudah mencari yang telah karam di sungai seluas, sedalam, dan sepanjang Musi. Oleh sebab itu, sengaja ia ucapkan kata-kata perpisahan pada para prajurit dan dayang-dayang sebagai firasat. Agar mereka memetik hikmah dan menyebarkan pelajaran saat hasil terburuk dari keputusannya memenangkan takdir. Melompat ke sungai adalah tindakan fatal seorang Putri Raja Sriwijaya yang berlandaskan cinta yang tulus. Sebuah tindakan yang mengakhiri ketidakberdayaannya dalam menghentikan malapetaka.

Kemarau di MusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang