BAGIAN 5 : PANGERAN KEGELAPAN

130 34 1
                                    

“Aku adalah akhir dari riwayatmu, Bhanurasmi.”


Bhanu seketika bungkam. Waspada secara fisik dan mental. Kedua tangannya refleks mendekap erat tas selempang di depan perut. Sekarang ia merasa ingin sekali menghilang secara mistis, meninggalkan situasi tak jelas yang sedang ia hadapi. Masalahnya, lelaki yang tak lebih dari jelmaan siluet itu—baru saja menyatakan diri sebagai makhluk yang tidak ramah lingkungan. Tak bergetar pula bibirnya saat mengeja nama Bhanurasmi, seolah-olah dia tahu segalanya dari A sampai Z. Dari gelagat, tampak pula lelaki itu sedang mengulur waktu untuk mengatakan sesuatu yang berseberangan dengan kehendak Bhanu.

“Siapa kau?”

Bhanu mengangkat wajah, bertanya dengan nada lebih sangar untuk kedua kalinya. Menunjukkan bahwa ia tak butuh jawaban yang mengandung unsur retorika ataupun metafora. Secara insting—seperti yang sudah dilakukan Kilika—tubuhnya lamat-lamat memasang kuda-kuda pertahanan. Ia harus siaga apabila lelaki itu tiba-tiba menyerang. Mau tak mau ia harus rela lelaki itu bebas mengekspos wajahnya yang benderang dalam gelap, demi kebaikannya.

“Apa maumu, hah?”

Lelaki dalam wujud siluet itu lagi-lagi terkekeh tanpa dosa setelah hening dan bergeming sejenak, tampak asyik mengamati kecemasannya. Respon tersebut otomatis membuat Bhanu dan Kilika semakin tak nyaman. Keduanya berpandangan sekilas, dalam diam sepakat untuk saling menjaga dan melindungi.

“Oh. Rupanya sekarang kau lebih ingin membangun intimasi denganku daripada … pulang …,” gaya bicara lelaki itu semakin tertrikal dan melecehkan emosi. “Sebelum kita kenalan lebih jauh, sebaiknya kau selamatkan dahulu apa yang sedang ingin kau selamatkan. Haha haha!”

“Dasar orang gila!” Tak disangka-sangka Kilika mendesis jengkel pada lelaki yang awalnya dia puji-puji ketampanannya. Menandakan siluman itu masih waras untuk bersikap selayaknya sahabat sejati. “Pergi! Jangan ganggu kakakku!”

Haluan pandang lelaki itu turun lebih rendah, ke arah bocah jejadian yang hanya setinggi pinggul orang dewasa. Lelaki itu kembali terkekeh-kekeh menjengkali ancaman Kilika. “Aku bukan mau mengganggu kakakmu, Dik! Aku cuma mau memberitahunya sesuatu yang sangat penting. Membantunya keluar dari masalah genting dengan imbalan yang adil.”

“Hanya karena kau tahu identitas Putri Bhanurasmi, bukan berarti kau bisa memerasnya. Dasar makhluk rendahan!” Kilika menyerang balik, terdengar menyalak seperti anjing melihat tulang.

“Hey … apa harus kujelaskan panjang lebar kalau derajat manusia lebih tinggi dari siluman macam kau? Ikan, ikan … kau itu cuma lauk-pauk di pinggiran piring nasi. Haha! Bukan begitu, Putri Siti Fatimah?”

Tak mau kalah, Kilika kembali berteriak. “Kau dan bangsamu bisa hidup karena dedikasi Putri Bhanurasmi. Beliau menebarkan sinar matahari setiap hari, selama berabad-abad. Karenanya juga kau bisa makan nasi pakai lauk ikan. Percuma jadi makhluk yang punya akal budi, sudah diberi nutrisi, tapi otak tidak difungsikan dengan benar! Dasar tak tahu diuntung! Parasit alam semesta!”

“Kau lihat dirimu sendiri, Siluman! Gara-gara kau, kakak alias putri kesayanganmu ini mendapat masalah besar sekarang. Kau mendesaknya supaya menghentikan hujan, bukan? Dasar makhluk egois! Bersenang-senang di atas pengorbanan dan penderitaan orang lain. Butuh kaca?”

“Sudah, Kilika! Diam! Jangan ladeni orang gila!”

Bhanu menarik Kilika ke belakang punggung. Siluman itu nyaris memencak, menggeru-geram hendak menerkam lelaki itu. Siluman ikan mas yang sekarang lebih mirip ikan piranha itu jelas tersinggung pada ucapan provokatif si lelaki. Bhanu tak ingin situasi semakin keruh dan panas dengan membiarkan kedua makhluk di hadapannya terus berdebat kusir. Ia harus mendinginkan kepala mereka, bukan jadi kompor meleduk.

Kemarau di MusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang