Brankas dibuka. Tadaaa! Tampaklah wujud pengilon tergeletak manis di dalam brankas.
“Tuh kan! Ada.”
Bhanu berseru lega. Tak sadar bahwa dirinya terkecoh fatamorgana. Ia benar-benar yakin bahwa isi surat yang disampaikan si kerang hitam hanyalah tipuan belaka. Padahal faktanya, kondisi psikologi yang kacau telah mempengaruhi kinerja dan efisiensi indera penglihatan Bhanu.
Butuh beberapa saat bagi Bhanu untuk menyadari realitas bahwa sebuah objek konkret di dalam brankas bukanlah pengilon tersayang. Perlahan dan pasti ia membatu, merasa baru saja melihat sebuah keganjilan, sebuah anomali penglihatan. Ia kucek mata berulang-ulang, namun hasilnya masih sama. Pengilon yang ada di dalam brankas itu benar-benar tampak berbeda dari wujud biasa. Pengilonnya adalah benda elegan, mewah, dan sangat fancy. Sedangkan benda yang ada di brankas itu berwarna hitam, begagang bengkok, dan tidak menarik sama sekali.
“Lho! Kok … jadi begitu?”Bhanu spontan mendekat. Perlahan dan pasti jantungnya mulai berdebar tak keruan. Ia ambil pengilon hitam bergagang bengkok tersebut dari dalam brankas, lantas mengamatinya dengan saksama. Beberapa detik kemudian, Bhanu sontak menjerit delapan oktaf.
“Aaa! Ini bukan pengilonku!”
Bhanu refleks mencampakkan pengilon hitam bergagang bengkok itu secara serampangan. Untung saja benda itu tidak pecah ataupun rusak karena membentur karpet lembut kamarnya. Sementara Bhanu sendiri masih berdiri tegak seperti patung, bergeming, tak bisa menerima kenyataan yang baru saja ia cerna.
Brakk!
Bhanu membenturkan jidatnya ke permukaan sebuah pilar yang keras, lalu meringis kesakitan. Kini segala realitas benar-benar telah tebukti. Rasa sakit di jidatnya menandakan bahwa ia tidak sedang bermimpi, tidak pula berhalusinasi. Sebuah kesimpulan yang sangat mengerikan beranak-pinak dalam otaknya. Andai kata isi surat yang dibawa kerang hitam itu benar (bukan semacam hoaks di tahun politik), maka pengilon dan Kilika benar-benar berada di tangan si lelaki berengsek pemeras itu.
“Dasar setan iblis!”
Bhanu menggengeleng kencang. Jeritnya menggelegar lepas untuk kedua kalinya. “Tidak. Tidak mungkiiin!”
*
Kaca spion. Itulah nama pengilon hitam bergagang bengkok yang ia gondol dari acara Cap Go Meh semalam. Bemenit-menit ia harus berselancar di Google untuk mencaritahu tentang benda itu. Mengutip dari Wikipedia, kaca spion adalah cermin yang digunakan di mobil atau sepeda motor ataupun kendaraan lainnya untuk melihat keadaan atau lalu lintas yang ada di belakang kendaraan, atau pada saat memundurkan kendaraan, ataupun untuk melihat kebelakang pada saat akan membelok/pindah lajur lalu lintas.
Demi Sang Hyang di Bawanapraba! Entah bagaimana lelaki yang menyebut dirinya Pangeran Kegelapan itu berhasil mengelabuinya. Dengan gaya sok ingin membantu, ternyata tujuan sebenarnya adalah ingin modus, ingin mencuri pengilon, dan menukarnya dengan sebuah kaca spion tak berharga. Bhanu seketika merasa tolol dan kesal karena tak bisa membaca motif receh lelaki itu.Hingga detik ini Bhanu masih tak tahu harus berbuat apa. Sekarang ia terduduk lesu di tepi Sungai Musi menantikan kedatangan lelaki pemeras itu. Ia tak punya pilihan selain merundingkan ulang kesepakatan di antara mereka. Lelaki itu menghubunginya dari aplikasi pesan instan tepat satu jam setelah kerang hitam melayang pergi dari kusen jendela. Lelaki itu mendapatkan kontak untuk menghubunginya dari Kilika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemarau di Musi
FantasyREMAKING COMPLETED. Bagi yang sudah memasukkan cerita ini ke library, ada baiknya menghapus cerita ini terlebih dahulu, lalu tambahkan ulang ke library kalian. Karena perbaikan mungkin akan mempengaruhi isi, plot, dan mungkin juga merusak tatanan ba...