NYANYIAN ANGSA

184 30 12
                                    

BHANU

Lima puluh tahun kemudian …

Tangan ringkih wanita tua itu mengambil secarik kertas dan sebuah pena di atas meja. Dengan hati yang mantap, ia coba merangkai kata-kata yang berteluran dalam kepala. Sudah lama sekali ia ingin membuat sebuah pengakuan.

Tan Bun An, pangeranku, kekasih sejatiku, suamiku, Nathanku …

Izinkan aku menulis apa yang selama ini tak sanggup kulisankan.

Takdir kita pernah terputus di Musi. Berabad-abad lalu. Pulau Kemaro muncul untuk mengenangmu, di bawah kuburanmu itu aku pernah mengasingkan diri. Berabad-abad lamanya aku memilih takdir untuk menjadi seorang utusan, membuatku tak kunjung bertemu dengan ajal sampai detik ini. Sedangkan dikau sudah mengalaminya dua kali. Aku sempat bertanya-tanya, mengapa kau yang selalu lebih dahulu pergi. Hanya saja aku menolak untuk memikirkan jawabannya. Aku tak kuasa untuk mengakuinya.

Musi tak pernah memisahkan kita, dia lah yang selalu mempersatukan kita. Dia bilang, dia ingin melihatku hidup bahagia sampai uzur. Kau tahu, hari ini tepat setengah abad aku telah pergi meninggalkan dua loka yang kuagungkan. Pulau Kemaro dan Sungai Musi. Aku berada di antara dua pilihan. Kemaro dan Musi. Kau dan dia. Dan malam itu aku memilihmu. Aku tidak bisa membiarkanmu karam dua kali dan aku tidak bisa membiarkan Musi menelan hidupmu dua kali. Jadi kuputuskan untuk menyelamatkanmu, seperti Musi yang menyelamatkanku. Aku membawamu ke istanaku dan aku menerima kenyataan bahwa kau adalah takdir yang kupilih.

“Di-di mana aku?”

Kau bertanya begitu sadar dari pingsan. Tetapi kau sama sekali tak peduli pada jawabannya setelah melihatku. Kau justru tersenyum bahagia. Aku menghukummu untuk menunggu lima belas hari lagi di Pulau Kemaro tanpa melakukan kebodohan. Kau menungguku, lalu melamarku sekali lagi, dan aku menerimamu. Oh, andai kau tahu siapa sosok yang kau lamar pertama kali—yang meminta seuncang emas padamu. Kau pasti akan membunuhnya.

Segala keraguanku terjawab di malam bulan purnama. Malam itu aku berpisah dengan pengilon dan kristal mustika. Kuserahkan pada Dewan Pengurus Semesta dan kutanyakan yang ingin kutanyakan. Malam itu pula aku berpisah dengan seseorang yang …

Ah, aku masih tak sanggup untuk mengakuinya.

Malam itu, Sanghyang, melalui Dewan Pengurus Semesta akhirnya memberitahuku. Bahwasanya pengendalian musim kemarau akan dikerjakan di Bawanapraba. Aku diberi pilihan untuk hidup kembali menjadi manusia atau menjadi makhluk abadi yang agung di Bawanapraba. Kau tahu maksudku, bukan? Tetapi aku tidak puas dengan pilihan itu. Aku mengajukan banding dan Sanghyang menerimanya.

Aku kembali menjadi manusia untukmu, untuk menghabiskan waktu yang fana dan menua bersamamu. Aku senang akhirnya bisa melewati pengalaman itu. Menjadi tua bersama seseorang yang kucintai, memiliki anak dan cucu, tak ada yang lebih indah dari semua yang telah kita lewati bersama. Kita berhasil memulai lagi kisah yang sempat berakhir. Kita ubah akhir yang tragis menjadi indah. Lima puluh tahun ini aku benar-benar bahagia. Meski aku kembali melihatmu pergi meninggalkanku. Hipertensi yang kau derita akhirnya mengakhiri kebersamaan kita.

Selamat jalan, Nathan …

Selamat jalan, Sayang …

Maafkan aku yang tidak bisa memberimu cinta yang utuh. Maafkan aku yang tidak bisa mengaku padamu. Surat ini tidak berarti sama sekali. Kau sudah tidak bisa membacanya. Kau sudah tidak berada di sini untuk mendengar pengakuanku.

Aku, Siti Fatimah akan tetap mencintaimu. Siti Fatimah akan tetap menjadi milik Tan Bun An selalu. Tetapi aku yang tidak pernah puas dengan takdir ini telah mengajukan banding pada Sanghyang. Aku ingin kembali menjadi Bhanurasmi. Aku ingin kembali menjadi sosok abadi setelah waktuku sebagai Siti Fatimah berakhir. Aku jatuh cinta pada Musi, pengilonku.

Kemarau di MusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang