BAGIAN 13 : TAN BUN AN

148 23 3
                                    

Pengilon dan kristal mustika telah kembali ke brankas istana. Bhanu merasa lega karena seseorang yang telah memerasnya sedemikian rupa—setidaknya menepati kesepakatan. Ya, memang sulit dipercaya lelaki itu tidak mempersulit sama sekali.

Mati satu tumbuh seribu, seperti itulah situasi masalah yang ia hadapi andai dipribahasakan. Namun hakikat hidup adalah tentang bergerak maju, tentang menyelesaikan masalah dengan pilihan-pilihan yang ada. Berenang atau karam. Terbang atau jatuh. Bangkit atau terpuruk. Dalam realisasinya, tak ada pilihan yang mudah. Pilihan selalu mengemas tanggung jawab dan konsekuensi dalam satu keranjang. Sebagai seorang putri yang telah hidup berabad-abad, bukan hal sulit untuk memahami dan menerima tanggung jawab dan konsekuensi atas pilihan-pilihan yang telah ia buat.

Pagi ini matahari terbit di cakrawala timur, semburatnya naik menelan sisa-sisa kesuraman wajah musim penghujan. Cuaca berlaku sesuai dengan pengaturan yang telah ditetapkan. Bhanu senang bisa kembali menerangi hari-hari di Mayapada. Bagusnya kali ini tak terdengar protes dari satu manusia pun. Dua minggu hujan gerimis tanpa henti membuat kemunculan matahari benar-benar dirindukan.

“Apa yang ada dalam pikiranmu saat melakukan semua itu?” Bhanu bertanya pada sesosok siluman yang sedang tercenung di tepian sepi hilir Sungai Musi. Kemunculan dirinya membuat siluman itu terperanjat sesaat. Kepala yang sedang bersandar pada batang pohon pun bangun seketika. “Aku memintamu berpikir, bukan mencerabuti sisik emasmu.”

Bhanu beranjak mendekat ke akar pohon di mana Kilika sedang duduk meringkuk. Siluman itu tampak rapuh, rentan, dan tampak berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan rasa sakit yang menderanya. Butuh waktu satu jam bagi Bhanu untuk menyusuri sungai hingga menemukan keberadaan seseorang yang ia cari di tempat itu. Siluman itu pergi dari istana setelah meninggalkan beberapa keping sisik emas yang sama sekali tidak mampu mengisi ruang kosong di guci. Harusnya Kilika sadar bahwa tindakan macam itu bukan hanya akan menyakiti diri sendiri, tetapi juga menyakiti Bhanu.

“Aku sempat putus asa, tapi akhirnya matahari kembali bersinar cerah pagi ini. Rasa sakit yang kurasakan berubah manis. Aku senang akhirnya skandal kita berakhir.”

“Skandalku. Kau hanya kujadikan kambing hitam.”

“Tidak, skandal itu tidak akan ada kalau aku tidak memaksamu memanipulasi cuaca malam itu.”

Bhanu menatap Kilika dengan sepasang mata berkaca-kaca. Ia pernah benar-benar benci tatkala Kilika mengobral airmata dalam setiap masalah yang mereka hadapi. Tetapi kali ini ia tak dapat menahan haru yang menggebu. Terlebih saat melihat siluman itu tersenyum dalam rasa sakit tak terkira. Kilika akan menghadapi hari-hari berat dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan. Siluman itu juga tidak bisa menjelma ke wujud aslinya hingga sisik baru di kulitnya beregenerasi. Entah bagaimana Bhanu bisa memaafkan diri atas tindakan putus asa yang telah Kilika lakukan untuknya. Untuk membantunya sampai akhir.

“Terima kasih, Kilika. Kau adalah sahabat terbaikku di dunia ini.”

“Kau juga yang terbaik, Bhanu.”

“Sekarang ayo kembali ke istana, aku tidak akan membiarkanmu terlantar di tepi sungai seperti ini.”

Kilika tidak menolak saat Bhanu membimbingnya bangkit. Sebuah portal magis menuju istana terbuka. Mereka masuk dan berteleportasi dalam hitungan detik.

“Aku baru tahu kau bisa berteleportasi seperti Yennefer of Vengerberg.”

“Kekuatanku kembali setelah pengilon kembali. Kalau tidak berteleportasi, bagaimana aku bisa bolak balik mengambil kerja sampingan sebagai aktris di Ibu Kota lalu kembali ke istana ini? Tidakkah kau pernah berpikir, Kilika? Berabad-abad waktu yang cukup untuk mempelajari segelintir kemampuan luar biasa.”

Kemarau di MusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang