Sehari sebelum jatuh tempo penebusan pengilon dan kristal mustika, Bhanu sadar betul bahwa segala usaha yang kini ia lakukan telah sampai pada pasang surut. Sebagian besar harta bendanya telah terjual, menyisakan beberapa saja yang tidak cocok dengan selera pasar. Namun sayang disayang, guci terakhir yang hendak ia penuhi masih menyisakan setengah ruang kosong. Tak ada lagi modal yang bisa ia putar. Hatinya bak sedang mengamuk pada otak, sebab ia mulai mempertimbangkan metode hutang pada seseorang yang sedang berdetektif ria di atas pulau. Mungkin ia bisa lepas dari manusia pemeras sialan itu, mungkin pula permasalahan hidupnya akan berlanjut dengan seorang Datuk Maringgih.
Beberapa jenak Bhanu menatap kosong bayangan dirinya di cermin. Kini ia mengenakan aesan paksangko, sebuah baju kurung dan rok songket berwarna merah bersulam emas. Namun mahkota dan aksesoris teratai penutup bagian dada tidak terbuat dari emas murni, melainkan tempaan beberapa jenis logam. Kala itu (kurang lebih beberapa ratus tahun lalu), Bhanu menemukan karat di mahkota dan teratai aesan tersebut. Tanpa pikir panjang ia dermakan mahkota dan teratai aesan tersebut pada seorang kolektor barang-barang antik di masa itu.
“Cantik,” Kilika yang sedang duduk di kusen jendela memberikan komentar pendek. Mengembalikan kesadaran Bhanu yang sempat tersesat di ruang hampa.
“Ini pakaian yang aku kenakan saat tiba di Sriwijaya, dari perjalanan menemui kedua orangtua Tan Bun An,” Bhanu tersenyum tipis nan getir mengingat kembali kejadian yang sama. “Pakaian inilah yang melekat di tubuhku saat tragedi itu terjadi. Oh. Sudah lama sekali! Kau boleh tertawa, atau menganggapku tolol, tetapi sampai detik ini aku masih mencintai pangeran bodoh itu.”
“Serasi,” Kilika tersenyum simpul, lantas menarik napas dalam-dalam. “Sekarang aku percaya bahwa cinta sejati itu ada. Nyata. Sebuah cinta yang tak harus memiliki, tetapi setiap detiknya mengasihi dengan cara yang tidak terduga.”
Bhanu mengambil sebuah sisir yang tergeletak di meja rias dan mulai merapikan rambutnya. Ia cukup terkesan melihat Kilika mulai tampak lebih bijaksana setelah melalui berbagai macam badai bersamanya. Siluman itu tak lagi mengolok-oloknya dengan julukan si gadis gagal move-on berabad-abad.
“Ngomong-ngomong kau mau kemana dandan secantik ini?”
Bhanu membalas tatapan Kilika dari cermin, kemudian berdecak tanpa gairah. “Menyelesaikan masalah.”“Emas-emas itu … apa sudah terkumpul semua?”
“Belum.”
Beberapa saat tak ada tanggapan dari Kilika. Bhanu sedang tak begitu memperhatikan lawan bicaranya. Pertanyaan Kilika ia jawab pendek-pendek dan berat. Terlalu sibuk mematut diri, ia lewatkan perubahan ekspresi Kilika yang kembali menekuk kaku. Selesai mengepang rambut, Bhanu sempatkan pula menyapu bedak tipis ke wajah dan memoles bibir merah delimanya dengan pelembab. Memberikan kesan glossy.
Menarik napas panjang, Bhanu bergeming sejenak menatap bayangan dirinya di dalam cermin. Apakah ia benar-benar cantik? Wajahnya datar, kulitnya pucat, dan kantung matanya terlihat jelas akibat kurang tidur dan kelelahan. Ia kembali bertanya dalam hati; berapakah harga yang pantas untuk dirinya sekarang? Setengah guci emas? Oh. Sial! Ia merasa sangat murahan sekarang. Ia merasa seperti aset yang harga jualnya jatuh di pasaran.
“Bhanu …” Kilika kembali menegurnya, ragu-ragu. “Kau belum menjawab pertanyaanku. Kau mau pergi ke mana?”
Bhanu menoleh dan berbalik badan menghadapi Kilika, sebelum menjawab, ia tatap sepasang mata siluman itu dalam-dalam. “Aku ingin menemui seseorang yang sedang mencari-cari keberadaanku. Seseorang yang mengirimkan beberapa penyelam ke bawah sungai dua hari lalu—yang berhasil kau kecoh agar tidak menemukan keberadaan istanaku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemarau di Musi
FantasyREMAKING COMPLETED. Bagi yang sudah memasukkan cerita ini ke library, ada baiknya menghapus cerita ini terlebih dahulu, lalu tambahkan ulang ke library kalian. Karena perbaikan mungkin akan mempengaruhi isi, plot, dan mungkin juga merusak tatanan ba...