BAGIAN 1 : BHANURASMI

471 68 1
                                    

Imajiinasikan dirimu berada di posisi Putri Siti Fatimah ketika menemukan sembilan guci berisi maharnya. Emas yang kau bangga-banggakan tak ayal hanyalah setumpuk sawi yang membusuk selama perjalanan dari Tiongkok menuju Sriwijaya. Kau ingat betul bagaimana dayang-dayangmu bercericit mengejek dari belakang, sebagaimana kau ingat pada Tan Bun An yang hilang akal karena murka setannya. Di atas kapal dan di hadapan semua orang, pangeran malang itu mengutuk lelucon ibu bapaknya dengan cara melempar guci-guci berisi sawi busuk tersebut ke sungai Musi.


Lelucon. Ya. Bagi pangeran menukar emas dengan sawi adalah sebuah lelucon yang sangat kejam.

Plang! Plung! Plang! Plung!

Begitulah bunyi air yang kau dengar setiap kali pantat guci menampar permukaan Sungai Musi. Namun, meski tahu bahwa maharmu tak lebih dari sawi busuk, kau sama sekali tak pernah meminta pangeran untuk melenyapkan guci-guci itu. Sebaliknya, kau justru berusaha menenangkan pangeran dan menghalanginya melakukan pelampiasan murka yang tak patut. Sambil menahan tangis, kau tegaskan padanya bahwa kalian akan tetap menikah meski tanpa sekeping koin tembaga. Namun ucapan tulus yang keluar dari lubuk hatimu sama sekali tak digubris oleh Tan Bun An. Sesaat kau kehabisan akal, hingga memutuskan untuk bertindak lebih agresif.

“Hentikan, Tantan! Hentikan!”

Imajinasikan pula! Baru saja kau berseru dan hendak bergegas menjangkau pundak pangeran, seorang dayang kepercayaan malah mencengkeram sigap lenganmu. Menahanmu supaya diam di tempat. Dayang tersebut kemudian membisikan nasehat terbaiknya ke telingamu, “Percuma, Yang Mulia Putri. Pangeran tak bisa mendengar apapun selain jeritan emosi jiwanya. Tunggulah sejenak sampai badai di hati beliau sedikit mereda.”

Merasa ucapan dayang itu ada benarnya, untuk beberapa saat kau pun kembali mundur dari jalan Tan Bun An, kembali berdiri di sisi penonton dan menyaksikan drama murka pangeran sambil masih berjuang menahan desakan airmata. Jatungmu berdetak tak keruan. Tiba-tiba saja, secara intuitif kau mendapatkan perasaan yang sangat kuat. Sebuah firasat buruk. Sesuatu yang tidak kau harapkan, entah apa, membuat matamu terbelalak dan berkaca-kaca. Firasat itu lalu mendorongmu untuk bertindak sekali lagi. Tak selamanya diam dapat kau anggap bijaksana.

“Tan Bun An! Sudah! Hentikan!”

Tanpa menghiraukan apapun dan siapapun, kau baru saja memekik lantang bak petir menggelegar. Menarik perhatian semua orang dari pangeran ke arahmu.

“Dikau tak perlu bersikap macam budak! Daku 'kan bicara pada Ayahanda Raja agar memberimu syarat yang lain. Yang mungkin bisa dikau penuhi segera. Tan Bun An, cintaku, sayangku … dunia belum kiamat!”

Saat ini kau bisa berhenti berimajinasi. Putri Siti Fatimah tak ingin kau menangis dan marah di waktu bersamaan seperti yang sedang ia luapkan. Sekarang biarkan ia melanjutkan momentum terberatnya sebagai diri sendiri. Bukan seorang putri yang hanya diam ketika seorang dayang melingkari lengannya. Pangeran yang sedang tolol itu harus segera disadarkan, bukan ditontoni saja.

“Tan Bun An! Sikapmu sungguh berlebihan! Sadarlah!”

Putri Siti Fatimah berusaha menyembunyikan sedih dan rasa kecewanya dengan memencak, mengimbangi murka pangeran. Ia sadar, otak pangeran sedang disfungsi, tak bisa mencerna nasehat selembut sutera. Setelah menepis tangan si dayang yang hendak mencengkeram lagi, dengan terompah merah menghentak-hentak ia ikuti rotasi pangeran yang masih mondar-mandir menggilir guci demi guci ke sungai. Sekarang sawi busuk itu tampak mencemari air Sungai Musi. Putri tak habis pikir. Ini pertama kalinya ia melihat perangai pangeran sedemikian dangkal dan nelangsa. Putri berusaha menghalangi. Tangannya menggapai songket pangeran. Namun lepas begitu tergapai.

“Pangeran, dengarkan dulu cakapku! Daku faham perasaan dikau. Biar saja sawi busuk itu jadi bukti bahwa cintaku tak bisa disetarakan dengan apapun. Jangan gores hatimu dengan benci dan dendam, Sayang!” Putri mengulurkan tangannya saat pangeran melintas hendak mengambil guci yang lain. “Berikan tanganmu, Sayang! Berikan, Tantan! Lupakan guci-guci itu! Lupakan sawi busuk itu! Mari kita akhiri ketidakjelasan ini dengan kepala dingin.”

Kemarau di MusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang