Masalah yang sedang menimpa Bhanu—sebenarnya bukan semata-mata karena bujuk rayu Siluman Ikan yang hendak mencegah turunnya hujan di malam Cap Go Meh. Percaya atau tidak, sebab musababnya ternyata lebih kompleks dari yang terlihat secara kasat mata.
Pertama, adanya faktor psikologis. Bhanu merasa tertantang untuk keluar dari zona nyaman dan termotivasi oleh idealisme fortes fortuna juvat (keberuntungan berpihak pada para pemberani) yang dicetuskan oleh filsuf Romawi Kuno, Cicero.
Kedua, adanya faktor empiris atau pengalaman. Bhanu terinspirasi pada kenekatan fatalnya di masa lampau saat memutuskan untuk melompat ke sungai. Ekspektasi gila untuk mencari pangeran yang karam berbuah kehidupan baru sebagai utusan. Keadaan yang sama akan terulang, begitulah pikirnya.
Ketiga, adanya kegagalan koneksi ketika Bhanu berusaha menghubungi rekan kerjanya saat hendak meminta bantuan. Cumulusnimbuscirrusaltostratus, sang Pengendali Hujan. Adakah yang tahu di mana gerangan rekannya itu berada? Bhanu tak mengerti mengapa sang rekan sampai tidak bisa terjangkau. Situasi lost contact tersebut lah yang mendorongnya untuk menempuh cara tidak bermartabat.
Keempat, adanya rasa kepedulian sosial untuk menyukseskan acara. Bila hujan tidak direlokasi, kelenteng akan sepi, para pengunjung tidak bisa menyeberang, para pedagang tak dapat mereguk keuntungan yang semestinya, dan semua pertunjukan yang menghibur tidak akan tampil maksimal.
Kompleksitas tersebut termanifestasi dalam bentuk penyelewengan peraturan. Demi mewujudkan malam Cap Go Meh sesuai dengan ekspektasi semua makhluk yang merayakan, Bhanu akhirnya nekad membawa pengilon dan kristal mustika Sang Hyang keluar dari perisai mistik yang melindungi istananya. Ia bawa pengilon tanpa memikirkan konsekuensi yang mungkin ia hadapi kelak. Kini ia terjebak di antara para utusan. Oh. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya akan berakhir sebagai pecundang.
Dua menit yang diberikan lelaki itu telah kandas. Seperti de javu, lelaki itu kembali melenggang pergi sambil bersiul-siul, entah ke mana. Bhanu sudah jungkir balik menjelaskan bahwa ia tidak mampu memberikan imbalan gila yang dituntut lelaki itu. Sembilan guci emas milik Tan Bun An? Benar kata Kilika, lelaki itu benar-benar tidak khatam legenda Pulau Kemaro, tamak luar biasa. Sekalipun tinggal di Sungai Musi, sampai detik ia tak tahu di mana rimbanya delapan guci yang karam. Ia tidak mau tahu dan tidak punya waktu mengurusi emas-emas yang menjadi sumber tragedi kisah cintanya. Sedangkan satu guci lagi telah ia hibahkan pada rakyat Sriwijaya. Bagaimana mungkin ia menjanjikan sesuatu yang tidak ada dan bukan miliknya sama sekali?
“Kalau semua yang dikatakan lelaki itu benar, lantas bagaimana kau akan pulang?” Kilika akhirnya bertanya, memecah hening dengan isak tangis yang kembali dipertontonkan.
Bhanu terdiam, tak punya jawaban dan tak ingin menjawab.
“Apa benar risikonya seburuk itu?” Kilika meneruskan kemelutnya, “Kenapa kau sampai membahayakan nyawa dan jabatanmu demi mewujudkan permintaanku, Bhanu?”
“Jangan banyak tanya! Kau tidak perlu menelan mentah-mentah omongan lelaki itu! Aku yakin keadaanku tidak seburuk yang dipaparkannya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemarau di Musi
FantasyREMAKING COMPLETED. Bagi yang sudah memasukkan cerita ini ke library, ada baiknya menghapus cerita ini terlebih dahulu, lalu tambahkan ulang ke library kalian. Karena perbaikan mungkin akan mempengaruhi isi, plot, dan mungkin juga merusak tatanan ba...