BAGIAN 4 : SILUMAN IKAN

169 38 3
                                    

"Putri Bhanurasmi yang saya muliakan, maaf telah membuat Yang Mulia sampai berakar tunggang menunggu kedatangan hamba."


Seleret suara cempreng membuat kepala Bhanu sontak menoleh ke belakang. Terkejut. Ada suara. Tetapi kosong. Ia tidak menemukan siapapun di balik punggungnya. Atau jangan-jangan ...


"Kilika?" Bhanu berseru memastikan. Mendadak paranoid. Belum sempat ia celingukan, sahutan pun kembali datang.


"Di bawah. Errgh."


Begitu pandangannya turun ke bawah, Bhanu menemukan seorang gadis kecil berkostum congsam merah muda dengan rok mekar ala balerina, sedang melambaikan tangan dan tersenyum manis ke arahnya. Rambut gadis kecil itu disanggul kuncir dua dengan pita berwarna senada. Butuh waktu beberapa jenak untuk merespon.


"Astaga. Apa lagi ini?" Bhanu tak dapat menahan keinginannya untuk mempertanyakan penjelmaan Kilika malam ini. Diameter matanya membesar, geram setengah mati.


"Kawai, kan?" Kilika tampak begitu ceria menjadi kanak-kanak. Dengan sengaja memutar-mutar roknya. "Sui?"


"Bo sui!" Bhanu menyahut sinis, lantas bersedekap. "Sekarang jelaskan padaku kenapa kau menjelma jadi anak kecil, hah?"


Siluman itu menyahut enteng, "Lagi dhemen saja."


"Tahun lalu kau jadi nenek-nenek yang nyusahin, dua tahun lalu kau jadi anak emo, tahun ini jadi anak kecil pula. Sebenarnya motivasi hidupmu itu apa sih? Tidak bisa ya kalau jadi diri sendiri saja?"


"Siluman mah bebas mau jadi siapa saja. Jati diriku yang sebenarnya ya ikan mas. Selebihnya cuma jelmaan. Gimana sih kakak ini."


"Kakak?" Bhanu mendengus pendek. Benar-benar dibuat gila dan tak habis pikir. "Ada-ada saja ulahmu ya!"


"Karena sudah terlanjur, ya ... mau tak mau kau harus berperan jadi kakak aku dong, Sis. Secara penampilan kamu kasual banget malam ini. Cocoknya ya jadi kakak aku. Kalau kamu pakai congsam merah, baru deh kita kelihatan kayak mami Gisel dan dede Gempi."


Tanpa menyahut lagi, dengan kesal Bhanu membalikkan tubuh dan berjalan cepat menjauhi pagoda. Bibirnya berkomat-kamit menyumpahi Kilika yang spontan mengejarnya. Berteriak-teriak memanggilnya kakak.


"Kak, Kak, tunggu adik dong, Kak!"


"Mati kau situ!"


Bhanu menyenggak serampangan, terus berjalan tanpa menengok ke belakang ataupun memperhatikan sekitar. Tak ia sangka-sangka, seorang wanita paruh baya yang berselisih dengannya mendesis jijik. Melemparkan balik kekesalan yang sempat ia lemparkan untuk Kilika, si bocah jejadian itu. Bhanu menurunkan lebih dalam hoodie-nya. Berusaha menyembunyikan wajah. Sial! Umpatannya terlalu frontal dan keras untuk dilontarkan pada anak kecil.

Kemarau di MusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang