1.
"Rani, Pak Alfred belum masuk kantor?"
"Oh? Pak Alfred?" Sebagai karyawan di bagian HRD, Rani mengurus daftar kehadiran tiap karyawan. Kebiasaan Alex yang menanyakan Alfred sudah dihapalnya. "Pak Alfred sudah masuk, Pak. Di sini terdata Pak Alfred masuk tepat pukul delapan."
Seperti biasa juga, telepon langsung ditutup begitu dia memperoleh informasi yang dia inginkan, tanpa basa-basi sekadar ucapan terima kasih.
Rani hanya bisa mengelus dada. Menyabarkan diri. Menghadapi CEO perusahaan, dia yang hanya pegawai rendahan bisa apa? Hanya Pak Alfred yang bisa menangani Pak Alex.
Padahal tadi Rani baru mau memberitahunya, Pak Alfred yang dia cari ada di halaman, berbincang santai dengan pengurus kebun sambil mencabut rumput. Tapi yah, sudahlah.
Mengangkat bahu sekilas, Rani melanjutkan pekerjaannya mendata karyawan yang tidak hadir ataupun terlambat. Semua data yang berhubungan dengan bonus tahunan. Sebentar lagi bonus tahunan akan cair. Mengingat hal ini, wajahnya sumringah kembali.
Dari ruangannya, Alex terus berusaha menghubungi nomor pribadi Alfred, yang sudah pasti diabaikan. Telepon berdering berkali-kali, berkali-kali juga Alfred harus menghentikan obrolannya dengan Pak Udin, pengurus kebun yang sudah bekerja di perusahaan jauh sebelum Alfred masuk, mengganggu sekali.
"Yah, diangkat atuh, Pak," Jengah dengan telepon yang berdering tanpa henti, Pak Udin akhirnya buka suara.
"Tak apa, Pak. Bukan hal yang penting, kok. Tak usah dipikirkan." Tangannya tetap mencabut rumput yang sebenarnya tidak terlalu mengganggu.
"Dari Pak Alex, ya?"
Alfred mengangguk sekilas.
"Sampai berkali-kali gitu, mungkin sangat penting, Pak?"
Alfred menggeleng.
Melihat reaksi Alfred yang terlalu santai, Pak Udin jadi gemas, tak tahan untuk tidak menyuarakan isi pikirannya, "Pak Alfred ini, di mana-mana ya, Pak, kalo atasan nelepon tuh pasti segera dijawab. Ini Pak Alfred malahan nyuekin, gimana toh? Gimana kalo ntar Bapak sampe dipecat. Zaman sekarang, nyari kerjaan tuh jaaaaauuuuhhhhh lebih susah dibanding mencari jarum di tumpukan jerami loh, Pak. Apalagi kerjaan dengan posisi wuenak kayak Bapak. Gak kena panas, gak kena hujan, saban hari di dalam ruangan sejuk." Nasihat panjang lebar dengan logat medok yang berusaha ditekan akhirnya meluncur lancar dari mulut Pak Udin.
Diamnya Alfred membuat Pak Udin mengembuskan napas panjang. Pikiran anak muda memang sulit dipahami.
Sadar kalau Pak Udin mengkhawatirkannya, Alfred tertawa kecil, "Iya, Pak. Alfred ngerti kok, tapi ini beneran bukan soal penting." Meski kedudukan Pak Udin hanya tukang kebun, Alfred tetap bersikap sangat sopan padanya.
Baru saja membuka mulut untuk memberitahu Pak Udin untuk tak usah khawatir, sekali lagi HP-nya berdering. Mengabaikan dering yang mengganggu, Alfred menatap Pak Udin dengan senyum tulus. "Ya udah, Alfred pamit dulu. Pak Udin jaga kesehatan ya, minum banyak air, kalau terlalu panas, istirahat saja, jangan memaksakan diri."
Sudah menganggap Pak Udin sebagai orang tuanya sendiri, tentu saja Alfred sama sekali tidak keberatan dinasihati panjang lebar oleh Pak Udin, apalagi sosok Pak Udin mengingatkannya dengan boss yang dulu menyelamatkan hidupnya.
Sebelum suara dering selesai, Alfred menjawabnya sambil mengangguk hormat, berlalu dari hadapan Pak Udin, "Ya?"
"LU KE MANA AJA? BALIK KE RUANGAN LU SEKARANG!"
Reaksi yang sudah terduga. Teriakan marah yang bahkan bisa didengar oleh Pak Udin hanya ditanggapi santai oleh Alfred. "Ya."
Alex seperti masih ingin berteriak, tapi Alfred sudah memutus sambungan telepon, tersenyum penuh kemenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainy Day Memory : Alex and Alfred's Sequel
RomantizmSetelah lima tahun lamanya terpisah, Alfred kembali dipertemukan dengan Alex. Alfred yang dari luar terlihat kuat namun sebenarnya pesimis. Alex yang terlihat dingin namun sebenarnya sangat perhatian. Akankah komedi kehidupan mereka berulang, atau...