10.

802 93 9
                                    

10.

Dari tempatnya duduk menunggu, Alfred melihat Kirana berjalan memasuki restoran seorang diri, tanpa Alex. Melambaikan tangan memberitahu Kirana posisinya, Alfred melihat senyum yang luar biasa menawan merekah di wajah cantik Kirana.

"Hai, sudah lama?"

Alfred menggeleng, berdiri dan menarik kursi untuk Kirana.

"Mana Al, maksudku, Pak Alex."

"Dia akan sedikit terlambat. Masih ada meeting."

"Begitu? Jadi, kita tunggu atau kita pesan makanan duluan?" Sedikit lega karena tidak harus melihat Alex yang menatap Kirana dengan mata penuh cinta, Alfred menyerahkan buku menu ke tangan Kirana.

"Bagaimana kalau minuman? Aku ingin berbincang dulu denganmu."

"Silakan."

Kirana bukan tipe perempuan plin-plan. Tanpa menghabiskan banyak waktu memilih dari buku menu, dia langsung mengangkat tangan dan memesan minuman. Minuman yang sama yang selalu dipesan Alex. Double espresso.

Double espresso yang terlalu pahit bagi Alfred, sangat disukai oleh Alex.

"Pertama-tama, aku benar-benar ingin memujimu." Wajah cantik dengan riasan tipis natural tersenyum lebar. Terlihat sangat bersemangat.

"Huh? Memujiku?" Alfred bingung.

"Ya. Memujimu. Tau gak, kamu tuh benar-benar luar biasa, bisa bersabar menjadi sekretaris Alex selama setahun. Aku baru sebulan saja rasanya sudah ingin mencekiknya. Suka seenaknya menabrak jadwal, sulit sekali memintanya melakukan hal yang gak dia inginkan, ditambah lagi, kebiasaan telat yang sama sekali belum hilang darinya. Ugh! Rasanya aku hampir gila dibuatnya!"

"Kalo terlalu sulit, gimana kalo kamu kembalikan saja dia padaku?"

Usai mengucapkan kalimat ini, bukan hanya Kirana, Alfred sendiri terkejut. Bagaimana bisa dia mengucapkan isi hatinya seperti itu?

"Ahahaha ... bercanda, aku hanya bercanda kok. Jangan dianggap serius."

Terlambat.

Kirana sudah menangkap maksud ucapannya dengan sangat jelas. Senyum yang tadinya hangat perlahan memudar. Mata jernih menatap lurus ke wajah Alfred.

"Maaf. Tidak bisa." Bahasanya berubah formal, suaranya lembut, pelan, tapi terdengar bagai suara tebasan pedang yang membelah jantung Alfred. "Aku tidak tahu bagaimana kamu bertemu Alex, tapi aku sudah mengenalnya jauh sebelum kamu. Bisa dikatakan, Alex yang kamu kenal sekarang adalah Alexnya Kirana."

Alfred menatap lurus ke wajah Kirana, wajah yang memancarkan kepercayaan diri yang sangat tinggi. Tiada keraguan dalam dirinya saat menyebut Alex sebagai miliknya.

Pelayan meletakkan double espresso sambil tersenyum ramah. Aroma kopi yang luar biasa kuat mengingatkan Alfred pada Pak Udin. Hatinya kembali kuat kala mengingat masih ada orang yang peduli padanya.

"Aku bertemu Alex saat kami masih SMA. Aku kakak kelas sekaligus Ketua Osis. Seperti kisah-kisah cinta remaja yang sudah umum, aku yang murid teladan harus meluruskan sikap Alex si anak nakal. Awalnya kami terus bersitegang. Alex tak pernah terima ditegur, oleh guru sekali pun. Aku didesak oleh para guru untuk membuat Alex mematuhi aturan. Yah, begitulah. Tiap kali bertemu, kami udah kayak anjing dan kucing, saling gonggong saling cakar."

Sama sekali tidak sulit membayangkan Alex remaja yang luar biasa badung. Bahkan saat menjadi gembel pun dia masih terlihat angkuh. Tersenyum sendiri membayangkan Alex muda yang membuat pusing para guru dengan kelakuannya, Alfred tak menyadari ekspresi wajahnya yang menjadi sangat lembut.

Rainy Day Memory : Alex and Alfred's SequelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang