12.

919 99 13
                                    

12.

Berlari kencang di sepanjang lorong rumah sakit, Alex tak peduli dengan teguran dan teriakan marah pegawai rumah sakit yang terus memintanya untuk tidak berlari.

Daripada logika, panik dan khawatir jauh lebih menguasai hatinya.

Alfred meneleponnya, memberitahunya dengan suara gemetar yang membuat otak Alex menjadi tumpul hingga tak bisa berpikir. Penjelasan apa pun tak terdengar olehnya, hanya satu kalimat yang terdengar jelas di telinganya : "Kirana kecelakaan."

Di depan pintu ruang operasi, Alfred terduduk dengan tangan saling terpaut. Ekpresi wajahnya tak terlihat karena kepalanya yang tertunduk dalam-dalam. Mendengar suara derap orang berlari, kepalanya spontan diangkat, menunjukkan seraut wajah pucat tak berwarna.

"Syukurlah lu datang, gue gak tau mesti gi—" Belum sempat kalimatnya diselesaikan, tinju keras Alex telah mendarat telak di wajahnya.

Kata demi kata diucapkan lewat celah gigi yang terkatup rapat, "Kalau sampai Kiran kenapa-napa, awas aja lu!"

Bagian dalam mulut Alfred robek, sedikit darah segar mengalir lewat sudut bibirnya. Tapi rasa sakit yang terasa di wajah sebelah kiri yang dipukul Alex sama sekali tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Tangan kirinya dikepalkan kuat-kuat, menghapus darah yang mengalir di sudut bibir.

"Maaf ...." Dalam otaknya berputar ribuan kata, yang berhasil keluar hanya satu kata. Seharusnya Alfred bisa bergerak lebih cepat, menggantikan posisi Kirana saat mobil sialan itu hilang kendali. Tabrak lari yang membuat Kirana sekarang terbaring tanpa daya di ruang operasi.

"Gara-gara lu. Lu yang ngajak dia keluar makan siang. Kalo gak, sekarang ini Kiran pasti masih baik-baik aja." Tak puas hanya meninju wajah Alfred, Alex meraih kerah bajunya, menuding Alfred dengan tuduhan tak berdasar.

Memang, Alfred yang mengajak Kirana makan siang bersama, sebagai permintaan maaf atas kejadian saat makan malam itu.

Menyambut tawaran Alfred dengan suka cita, saat mereka sedang menyeberang jalan menuju kafe nyaman tempat mereka janjian, Kirana menjadi korban dari supir yang mengemudi sambil menggunakan HP. Tak melihat ke jalanan, supir itu tidak memperhatikan rambu yang sudah menunjukkan tanda merah. Terlambat menginjak rem, mobil kehilangan kendali dan meluncur cepat menuju Kirana.

Kejadiannya begitu cepat, Alfred sempat menarik tangan Kirana, tapi efek tekanan udara dari mobil yang melaju kencang tetap saja menghempaskan mereka berdua. Alfred memang tak apa-apa, tapi tahu-tahu saja Kirana sudah tergeletak berlumuran darah. Kehilangan banyak darah karena kepalanya membentur pembatas trotoar. Untunglah darah mereka cocok, tadi Alfred sudah mendonorkan darah yang diperlukan oleh Kirana.

Sekarang hanya tinggal menunggu hasil kerja para dokter.

Sumpah! Kalau bisa membalik waktu, lebih baik Alfred saja yang terbaring di atas meja operasi, bukan Kirana. Luka goresan di telapak kirinya tak sebanding dengan lengan kiri Kirana yang patah.

"Gue—"

"Lu sengaja kan? Lu mau nyingkirin Kiran dari hidup gue dengan cara licik gini?"

Alfred tertegun. Menatap Alex dengan mata membulat tak percaya. Jadi, di mata Alex, Alfred hanya manusia picik yang sanggup melakukan hal keji?

Saling menatap, di mata Alex hanya ada kemarahan. Kekecewaan mendalam di wajah Alfred tak dihiraukannya.

Kalah, Alfred menurunkan matanya dari tatapan Alex, menghindar. Matanya tertuju pada sepasang tangan yang mencengkeram erat kerah bajunya. Telapak tangan kirinya yang masih terkepal berdenyut sakit. Tapi tak sesakit denyut di dadanya. Hatinya terluka parah, jauh lebih sakit dibanding luka luar, sayangnya, di saat dia ingin menangis, air mata malah menolak untuk mengalir.

"Benar. Lebih baik dia gak ada." Menggigit bibirnya kuat-kuat, tanpa menatap mata Alex, Alfred berucap dengan suara rendah, namun bisa didengar dengan sangat jelas oleh Alex. "Kalo ada dia, posisi gue terancam. Cepat lambat, dia bakal ngegeser gue dari sisi lu. Lu kira gue rela kehilangan segala kenyamanan hidup yang udah susah payah gue dapetin? Lebih baik dia gak ada."

Hantaman kedua di tempat yang sama. Lebih kuat dari yang pertama. Lebih sakit. Alfred beruntung jika tidak ada gigi yang lepas. Punggung dan bahu kanannya menghantam tembok akibat dorongan dari tinju Alex di wajah kirinya. Pandangan matanya menggelap sesaat.

Tak ada erangan kesakitan maupun serangan balasan. Seperti menempel pada dinding, Alfred hanya berdiri di sana, menunggu serangan berikutnya, dengan wajah tertunduk.

Saat ini Alfred tak ingin melihat wajah Alex. Sama sekali tak ingin. Terlalu takut jika wajah murka Alex sampai terpatri kuat di benaknya, seperti ditempelkan dengan besi membara, meninggalkan bekas yang tak akan mungkin bisa dihilangkan Alfred seumur hidup.

"Hari ini, gue sadar siapa lu sebenarnya. Gue nyesal kenal sama lu."

Berbicara tentang penyesalan, entah kenapa, kata itu tidak pernah muncul di benak Alfred. Sesulit apa pun hidupnya, Alfred tak pernah menyesalinya. Pertemuan dengan Alex mengubah hidupnya, jadi, dia tak akan pernah menyesalinya.

Seperti biasa, diamnya Alfred selalu membuat kadar emosi Alex mencapai level tertinggi. Alfred tak perlu memakinya dengan kata-kata kasar, cukup diam tertunduk seperti itu saja sudah membuat darah Alex mendidih.

"Pergi! Gue jijik liat tampang rakus lu!"

Nah! Benar bukan kata Alfred. Suatu saat, Alexlah yang akan muak dan mengusir Alfred dari hidupnya.

Akhirnya.

Akhirnya semua berakhir. Selesai sudah.

Perasaan lega karena akhirnya Alex mengusirnya pergi membuat Alfred tanpa sadar tertawa kecil. Tanpa mengucapkan apa pun, tanpa melihat wajah Alex lagi, Alfred menyeret langkahnya, tertatih-tatih menyingkir untuk turun dari panggung hidup Alex.

Perannya sudah selesai.

Kisah cinta yang diperankannya sudah tamat.

----- 

Rainy Day Memory : Alex and Alfred's SequelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang