5.

744 95 11
                                    

5.


"Mikirin apa?"

Sedikit terlonjak dengan kehadiran Alex yang mendadak, Alfred terkesiap sambil memegangi dadanya.

"Sudah pulang?"

"Mm." Alih-alih menarik Alfred kembali ke rumah, Alex ikut duduk di kursi taman, di samping Alfred. Cahaya lampu yang temaram membuat suasana taman terasa sedikit romantis.

Meraih tangan dingin Alfred, menggenggamnya erat-erat, Alex sedikit kaget tangannya tidak ditepis seperti biasa. Kepala Alfred terangkat, menatap langit, membuat Alex ikut-ikutan menatap ke atas.

"Kalo mau lihat bintang, dari balkon bakal lebih jelas."

"Gue gak tahan ketinggian."

Alex tertawa kecil, mengingat bagaimana Alfred lebih memilih membersihkan toilet jorok yang menjijikkan dibanding membersihkan jendela bangunan hanya karena dia fobia pada ketinggian.

"Ya udah, ntar gue bawa lu ke bulan biar bisa sekalian metik bintang ya."

Melirik Alex dengan ekor matanya, Alfred bergidik, "Lu gak jijik ngomong gombal gitu? Gue yang denger aja hampir muntah darah."

"Perlu lu tahu ya, gue gak pernah perlu ngegombal."

Percaya. Sangat percaya.

Di kalangan atas, siapa yang tak mengenal Alexander? Wajah tampan maksimal, dompet tebal menggumpal. Siapa pun yang menjadi pasangannya, kemewahan hidup pasti terjamin.

Dulu Alfred juga termasuk salah satu yang mengincar Alex, tanpa menyadari Alexander yang dibicarakan banyak orang itu sedang dibuang ke jalanan, hidup menumpang di rumah kecilnya.

Sekarang, setelah benar-benar bisa mendapatkan Alex, bukannya bangga, malah kegelisahan selalu membayangi.

Balas menggenggam tangan Alex, Alfred enggan melanjutkan pembicaraan yang dia tahu tujuannya. Alex hanya ingin sekadar mengalihkan perhatiannya dari pikiran-pikiran yang mengganggu tanpa menyentuh langsung topik yang mengganggu pikirannya. Perhatian kecil yang membuat Alfred nyaman.

Di malam dingin, mereka duduk dalam diam, tangan menyatu, pikiran mereka masing-masing berkelana entah ke mana.

---

Melirik wajah bersih yang berjongkok menopang dagu, Pak Udin menggeleng-gelengkan kepala. Setiap kali ada masalah yang mengganggu pikirannya, alih-alih merenung di kantor, Alfred malah lebih memilih termenung di taman kecil ini.

Menghela napas panjang, mengembuskan napas berat. Terus dan terus. Berulang hingga Pak Udin tak tahan.

"Ada masalah sama Pak Alex lagi?" Bertanya sambil lalu, Pak Udin membuka termosnya. Aroma semerbak kopi langsung menguar.

Gelengan kepala yang menjadi jawaban.

"Temperamen Pak Alex memang jelek, Pak Alfred bisa betah selama ini, udah prestasi yang luar biasa."

Masalah temperamen Alex diungkit, Alfred hanya bisa tertawa miris. Reputasi Alex sudah terlalu buruk di mata pegawainya.

"Bukan kok, Pak. Lagipula, Pak Alex tidak separah itu. Pak Alex itu hanya terlalu manja, terbiasa mendapatkan keinginannya dengan mudah, jadi, saat sesuatu berjalan tidak sesuai keinginannya, dia akan bertingkah seperti anak kecil."

Pak Udin menatap Alfred lekat-lekat. Mencari kesungguhan dalam kata-kata Alfred. "Pak Alfred tidak keberatan dengan sikap kasar Pak Alex?"

Alex juga tak akan bertindak kasar tanpa alasan.

Rainy Day Memory : Alex and Alfred's SequelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang