Epilogue

1K 96 38
                                    

Epilogue

Luar biasa. Tidak banyak yang berubah.

Setelah 6 tahun, tempat ini masih sama seperti dulu. Kecuali beberapa warung kecil yang sepertinya sudah makin besar, tukang bubur yang biasa mangkal di depan gang tak terlihat lagi, ---mungkin sudah naik haji.

Beberapa pemuda berusia tanggung melirik ke arahnya, sepertinya mereka generasi baru preman setempat. Yang dulu suka berkeliaran memalak dan mengeroyok orang mungkin sudah naik pangkat jadi senior.

Di atas langit, awan hitam bergumpal, berkumpul, berkonspirasi untuk mengganggu aktivitas manusia dengan hujan lebat.

Tertawa dalam hati atas pemikirannya sendiri, Alfred menarik ransel yang sedikit melorot dari bahu kirinya. Denyutan perih terasa dari telapak tangan kiri yang dibalut perban. Lukanya ternyata cukup dalam, mungkin akan meninggalkan bekas. Bahu kanannya masih cedera gara-gara membentur dinding, jadi dia hanya bisa menggantungkan tas lusuh berisi beberapa potong pakaian, ijazah dan sedikit barang berharga itu di bahu kiri.

Semua yang dibawanya adalah barang-barang lamanya. Untung dulu dia tak mendengarkan saran Alex untuk membuang semua harta tak berharganya. Bisa-bisa dia benar-benar keluar rumah hanya dengan pakaian yang menempel di badan.

Setelan mahal, jam tangan, hadiah-hadiah beserta ponsel mahal pemberian Alex sama sekali tidak dibawanya. Semua dia letakkan dengan rapi di dalam lemari. Kunci rumah juga sudah dia letakkan di atas nakas dekat tempat tidurnya.

Pakaian yang tadi menempel di badan juga sudah dicuci bersih, digantungkan di ruang laundry di rumah Alex, soalnya itu juga pemberian Alex.

Dulu sempat terpikir untuk mengajak Alex bernostalgia ke rumah di mana semuanya bermula, sekarang sudah tak mungkin lagi. Keadaan sudah berubah. Alex mungkin tak akan mau mengingat apa pun lagi yang berhubungan dengan Alfred.

Yah, paling tidak, kali ini bukan Alfred yang melarikan diri.

Nyaris tak percaya, rumah kecilnya sama sekali tak berubah, bahkan warna catnya masih tetap sama walau terlihat sudah beberapa kali mengalami pengecatan ulang. Tirai putih tipis yang mengintip dari balik jendela juga sama.

Tadinya mengira rumah ini sudah mengalami renovasi seperti beberapa rumah di depan gang sana, atau menjadi makin kumuh karena tidak ada yang mau menyewa rumah kecil dengan harga yang terlalu mahal. Siapa sangka, keadaannya tetap rapi terawat.

Siapa pun penghuninya, Alfred benar-benar ingin berterima kasih. Bisa melihat rumah kenangan tanpa perubahan yang terlalu mencolok.

Puas melihat, Alfred tersenyum, menghela napas panjang, bersiap untuk pergi. Baru saja Alfred berbalik, dari ujung gang, wajah yang sudah tak asing muncul, terlihat terkejut saat melihat Alfred.

"Lho? Kak Alfred?"

Santo. Preman yang dulu suka mengganggu orang lemah di sekitar sini, sepertinya masih tetap tinggal di sini. Sekarang penampilannya benar-benar berbeda, sangat rapi.

Setengah berlari, dia buru-buru mendatangi dan menyalami orang yang dulu menyerahkan rumah beserta barang berharga di dalamnya untuknya.

"Lu masih tinggal di sini?"

"Ceritanya panjang, Kak. Ayo, masuk dulu."

Membukakan pintu rumah lebar-lebar, Santo mempersilakan Alfred masuk.

Meski isi dan letak perabotan sama sekali tidak berubah, aroma rumah sudah jauh berbeda. Tentu saja tidak semua orang bisa sebersih dan serapi Alfred. Di beberapa tempat, debu tebal bertumpuk. Di sudut ruangan, tempat sampah dengan sampah yang masih belum dibuang. Sebuah televisi LCD berukuran 21 inci terpasang rapi di rak yang dulu berisi buku-buku Alfred.

Rainy Day Memory : Alex and Alfred's SequelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang