Suatu Hari Di Kala Langit Cerah
Di antara begitu banyak tanaman indah, pohon mangga yang berdiri tegak kokoh di tengah taman menarik perhatian Alfred. Matanya sudah ditarik oleh pohon mangga itu sejak dia menapak memasuki taman luas di samping rumah besar keluarga Prasetya.
"Gimana? Suka?" teguran lembut membuatnya terlonjak.
"Bapak—"
"Papa."
"Eh, iya, Papa." Alfred masih kagok menyebut kata Papa. Lebih terbiasa menyapa dengan sebutan Bapak, apalagi orang yang selama ini dikiranya hanya tukang kebun biasa ternyata Presiden Direktur yang memimpin perusahaan besar. Bagaimanapun, sulit bagi Alfred yang masih rendah diri untuk berbaur dalam keluarga Prasetya.
"Pohon mangga itu namanya Alexander. Ditanam dari biji sejak Valerie hamil. Papa menamainya Alexander dari Alexander Agung, sang penakluk dan pemimpin yang jenius." Binar mata yang sama bangganya dengan binar mata saat Pak Udin bercerita tentang anaknya. "Papa menamainya Alexander bukan karena berharap dia akan sehebat Alexander." Eugene terkekeh kecil saat melihat wajah Alfred yang tertunduk. "Hanya karena Alex lahir di tanggal dan bulan yang sama dengan Alexander Agung."
"Oh?"
"Gak tau hari ulang tahun Alex?"
Gelengan kepala Alfred membuat Eugene terkejut, tapi tidak merasa terlalu aneh. Toh mereka bukan perempuan yang suka direpotkan dengan urusan perayaan ulang tahun dan lain-lainnya.
Dengan kode telengan kepala, Eugene mengajak Alfred menapaki bagian dalam taman, menuju ke pohon mangga yang teduh, melintasi rumpun-rumpun hijau yang tertata apik.
"Diawali dengan pohon mangga ini, sedikit demi sedikit Papa bangun taman ini dengan tangan Papa sendiri. Papa ingin taman yang bisa menyokong Alex, melindungi sekaligus membuatnya kuat." Menepuk-nepuk batang pohong yang kokoh, senyum bangga kembali terlihat.
Dari dekat, pohon mangga ini memang terlihat sangat tinggi dan kuat, angkuh menjulang. Sangat berbeda dengan pohon mangga cangkokan yang pendek. Benar-benar seperti Alex.
"Waktu kecil, Alex tuh suka banget manjat-manjat, terus, satu waktu, dia jatuh. Padahal cuman lecet dikit, tapi nangis sampe jejeritan. Sejak itu Papa sadar, ada yang salah dengan cara Papa. Makanya Papa serahkan Alex pada Valerie yang lebih tegas, Papa cuman bisa ngawasin dari jauh. Di bawah didikan Valerie, Alex memang gak manja lagi, tapi jadinya malah terbiasa ngedapetin apa pun yang dia mau. Caranya sih gak pake nangis, tapi pake berontak."
Ternyata begitu. Karakter Alex yang perpaduan kedua orang tuanya rupanya karena itu.
"Kirana, dan juga kamu, bawa pengaruh positif buat Alex. Papa benar-benar berterima kasih sama kalian."
Mungkin, Kirana adalah orang pertama yang benar-benar melihat Alex sebagai Alex, bukan kekuasaan dan kekayaan keluarga Prasetya yang disandang Alex. Eugene sangat bisa memaklumi jika Alex kemudian sangat terikat pada Kirana. Juga sangat maklum dengan reaksi Alex saat ditinggalkan Kirana, makanya dia membiarkan saja segala tindakan Alex yang makin lama makin melewati batas toleransi.
"Papa terpaksa harus ambil tindakan ekstrem saat Alex makin keterlaluan. Papa paham, maksud dia lakuin itu semua cuman mau bikin kesal Valerie. Alex juga bukan anak bodoh, dia paham kalo Valerie gak suka Kirana karena latar belakangnya. Dia tunjukin ke Valerie, bahkan perempuan dari keluarga baik-baik juga gak bisa sebaik Kirana. Cuman ya itu, caranya gak bener. Buang-buang duit. Makanya Papa usir dia, biar dia tau rasanya hidup susah."
Berkat itu, Alex bertemu Alfred. Menjadi Alex yang sekarang.
"Gara-gara terlalu sibuk, Papa kena stroke ringan, jadinya terpaksa harus panggil dia pulang buat gantiin Papa sementara waktu. Setelah itu, tiba-tiba dia minta modal buat rintis perusahaan. Papa antara senang dan kaget, jadi Papa terus awasin dia." Termasuk membajak surel Alex. Semua foto-foto yang disimpannya dalam HP-nya akan otomatis tersimpan di penyimpanan surel yang bisa dilihat oleh Eugene.
Semua karyawan yang masuk ke perusahaan, tak lolos dari pantauan Eugene. Terutama Alfred yang langsung diangkat jadi sekretaris hanya seminggu setelah memasuki perusahaan. Bukan hanya itu, Eugene bahkan sangat terkejut saat Alfred mendatanginya di taman. Selama karirnya menyamar, baru kali ini dia didatangi langsung oleh objek yang diawasinya.
Kesan yang ditunjukkan Alfred juga sangat baik. Sama sekali tidak merendahkan tukang kebun, terkadang ikut membantu. Dari obrolan ringan mereka, sedikit banyak Eugene bisa mengetahui latar belakang Alfred yang tentunya jauh lebih pelik dibanding Alex.
"Kalo misal suatu hari nanti Alex kumat manjanya, silakan digampar, tapi jangan ditinggalin kayak kemarin itu ya," Eugene mengalihkan tangannya ke pundak Alfred, menepuk ringan, "Papa titip Alex."
Alex yang mana? Alex pohon mangga atau Alex yang sedang uring-uringan di kamar itu?
Masih ingin bertanya, tapi Eugene sudah melangkah pergi dengan bibir mengulum senyum. Meninggalkan Alfred bengong sendiri di bawah pohon.
Eugene melangkah pergi karena menangkap bayangan Alex yang sedang mencari-cari sesuatu, lebih tepatnya seseorang. Sudah hafal kebiasaan Alfred yang melarikan diri ke taman untuk menghindari Alex, tentu Eugene tahu mereka pasti bertengkar lagi.
Dasar anak muda.
Langit biru cerah tanpa awan. Sore yang indah.
Kediaman keluarga Prasetya hari ini pun damai sekaligus ramai.
------
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainy Day Memory : Alex and Alfred's Sequel
RomantikSetelah lima tahun lamanya terpisah, Alfred kembali dipertemukan dengan Alex. Alfred yang dari luar terlihat kuat namun sebenarnya pesimis. Alex yang terlihat dingin namun sebenarnya sangat perhatian. Akankah komedi kehidupan mereka berulang, atau...