3.

890 104 2
                                    

03.

Suara pintu dibanting bergema di ruang yang tadinya kosong. Penghuninya yang keluar sejak sore sudah kembali, ---dengan sangat riuh tentunya.

Pintu malang yang baru saja dibanting, kembali terbuka lebar hingga menghantam dinding sebelum ditutup dengan suara debaman keras. Pemilik rumah ini sudah pulang juga, terlihat sangat marah.

"ALFRED!"

Tak ingin membuang waktu membuka sepatu, dia berteriak keras pada orang yang lebih dulu masuk dan membanting pintu. Menyusul ke kamarnya.

Terlambat lagi, pintu kamar kembali tertutup keras di depan hidungnya sebelum dia sempat masuk.

"KELUAR LU!" Pintu kamar ditendang, digedor dengan gusar. Amarah Alex sudah mencapai ubun-ubun.

Bukannya Alfred takut dengan Alex yang sedang dikuasai amarah, Alfred sendiri saat ini juga sedang berusaha keras mengendalikan emosinya yang meluap-luap. Semarah-marahnya Alfred, logikanya masih berfungsi dengan baik. Jika dia menghadapi Alex dengan kondisi seperti ini, bukan tidak mungkin, kalau beruntung, besok pagi mereka harus masuk kantor dengan wajah lebam, kalau terjadi hal yang ditakutkan, salah satu dari mereka mungkin saja berakhir di kamar rumah sakit. ---Dilihat dari fisik yang kurang berimbang, hampir bisa dipastikan kalau yang akan terbaring menyedihkan di ranjang rumah sakit adalah Alfred.

Sial!

Sekali lagi menendang pintu dengan sepatu hitam mengilap, Alex berpikir keras. Berbalik dan melangkah pergi dari kamar Alfred, tiba-tiba Alex teringat dengan balkon di kamarnya, balkon yang terhubung dengan kamar Alfred.

Kamar mereka memang bersebelahan. Balkon yang cukup luas, tempat mereka seharusnya bersantai menikmati udara luar dari kamar apartemen yang cukup tinggi ini menghubungkan kamar mereka dari luar. Sayang, Alfred yang tidak tahan dengan ketinggian sama sekali tidak nyaman berlama-lama di balkon. Jadinya tempat ini hanya seperti jalan penghubung darurat antar kamar.

Mendengar suara pintu kamar Alex yang lagi-lagi ditutup dengan suara bantingan keras, Alfred langsung tahu kalau kali ini Alex akan menggunakan balkon. Sebelum Alex berhasil, tentu saja satu-satunya akses penghubung yang tersisa itu harus segera ditutup.

Melangkah cepat ke pintu balkon yang tak pernah dikuncinya, sekarang Alfred yang kalah cepat. Wajah Alex yang saat marah lebih terlihat seperti iblis tampan sudah terpampang di depan pintu yang terbuka lebar. Daun pintu yang dibuka kasar hampir saja menghantam wajah Alfred kalau saja refleksnya tidak cepat.

Secepat mata berkedip, Alex sudah menyambar Alfred yang mundur selangkah menghindari pintu, tak memberi ruang untuk Alfred melarikan diri lagi.

"Apa-apaan itu tadi?" Rahang yang terkatup rapat membuat kata demi kata lebih terdengar seperti desisan.

Mengalihkan wajah dan matanya, menolak menatap langsung ke mata Alex, Alfred tidak menjawab, hanya diam seribu bahasa. Napas panas memburu menerpa wajahnya yang basah oleh buliran keringat. Rambutnya pun sudah tak lagi serapi biasanya.

"Tatap gue!" Tentu saja dia tak akan tunduk begitu saja. Tidak terbiasa ditentang, Alex mengangkat tangannya, bersiap memukul Alfred yang masih saja keras kepala, menolak berbicara dengannya.

Pada akhirnya, sedikit akal sehat yang masih tersisa membuatnya membatalkan niat memukul, hanya melempar tubuh Alfred ke atas tempat tidur, dia sendiri segera menerkam sebelum Alfred sempat bangkit berdiri, mengimpit tubuh Alfred yang sedikit lebih kecil darinya itu tepat di bawah tubuhnya, menuntutnya untuk menyerah.

"Gue tanya lagi, apa-apaan tadi?" Menjepit rahang Alfred dengan tangannya yang kuat tanpa mempedulikan rahang yang dikatupkan hingga terdengar suara gemeretak gigi beradu, dipaksanya agar pria itu menatap ke arahnya. Meskipun caranya kali ini berhasil, Alex tetap gagal memahami berbagai emosi yang berkecamuk di benak Alfred, padahal kata orang, kalau ingin tahu isi hati seseorang, cukup tatap matanya dalam-dalam. Mata Alfred terlalu dalam hingga sulit diselami.

Rainy Day Memory : Alex and Alfred's SequelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang