Prekuel di Hari Berhujan
Ditinggal sendirian di bawah pohon mangga bernama Alexander Agung, nama yang berlebihan untuk sebatang pohon mangga biasa, Alfred menengadah menatap langit biru. Cahaya matahari yang menembus rimbun dedaunan menyinari wajahnya dalam bentuk berkas. Lewat celah hijau di antara daun lebat, langit biru yang mengintip terlihat sungguh indah. Burung-burung yang hinggap di batang pohon mengganggunya yang sedang menatap langit, sekonyong-konyong menghela napas berat lagi.
Kapan Alex bisa berhenti bersikap kekanak-kanakan begitu?
Sedang melihat-lihat album foto pun bisa menjadi ajang adu urat.
Bermula dari album foto yang dipamerkan Alex, seragam yang dikenakan Alex saat SMA spontan membangkitkan kenangan yang sudah lama terkubur dan hampir terlupakan.
"Wah, seragam ini, lu anak SMA Citra Pelita?"
"Oh? Lu tau seragam ini?"
Sambil mengangguk antusias, Alfred tersenyum bernostalgia, tangannya tanpa sadar mengelus foto di hadapannya, "Yaps. Gila aja kalo gak tau Citra Pelita, SMA idaman yang isinya kalo bukan anak orang kaya, pasti orang pintar. Sayangnya gue bukan kategori keduanya, jadi cuman bisa kepengen doang. Hehehe ...."
"Oh ya?"
"Kayaknya gue benar-benar sadar gue gay itu gara-gara anak yang make seragam ini deh."
Sedang sibuk menggali ingatan istimewanya, tentu Alfred luput mendengar nada sinis tak suka dalam suara Alex. "Hmm?"
"Gue masih kelas 3 SMP sih waktu itu. Pas pulang dari kerja kelompok, gue ketemu ama anak SMA Citra Pelita, mukanya sih gue gak ingat persis ya, tapi seragamnya yang gue ingat banget, berkesan banget."
Masih menatap Alex versi SMA yang memakai seragam dengan kemeja putih dan dasi kotak-kotak berwarna biru langit, Alfred sama sekali tidak menyadari wajah Alex sudah menggelap, malah masih sibuk bermonolog.
"Kalo dipikir-pikir lagi, kayaknya cinta pertama gue bukan sepupu gue. Pacar cowok yang pertama, iya, sepupu gue, tapi kalo cinta pertama, mungkin anak itu ya, walo wajahnya gak gue ingat jelas."
Tersenyum lebar, Alfred mengangkat wajahnya, menatap Alex. Detik inilah baru Alfred menyadari wajah gelap Alex. Marah entah karena apa. Sontak senyum menghilang dari wajah Alfred. Mengerutkan dahi balas menatap Alex yang menatapnya tajam.
"Apaan sih lu?"
"Lu tuh yang apaan! Beraninya selingkuh depan gue!"
Eh? Halo? Tolong, yang punya kamus, tolong jelaskan pada manusia ini apa arti kata selingkuh.
Sejak kapan nostalgia sudah dianggap selingkuh. Mengenang masa lalu sudah masuk ke dalam ranah selingkuh?
Kening Alfred berkedut. Menarik napas panjang, mengembuskannya hingga menimbulkan suara dengkusan. Menutup album dengan suara keras, menaruhnya ke atas meja dengan suara berdebam.
"Oke, mumpung udah dituduh, sekalian gue keluar buat selingkuh. Sumpek selingkuh depan lu!" Kali ini tidak diikuti suara bantingan pintu, bagaimanapun, ini masih di rumah keluarga Prasetya, tidak pantas rasanya pertengkaran mereka diketahui semua orang.
Begitulah rentetan kejadian singkat yang membawa Alfred ke taman ini.
Saat ini, dia benar-benar sedang selingkuh, ---dengan pohon mangga bernama Alex.
Jelas-jelas langit cerah tanpa awan gelap, hujan malah turun tiba-tiba. Tidak deras sih, hanya sekadar rinai, tapi tetap cukup mengagetkan hingga Alfred refleks merapatkan diri ke bawah pohon, berlindung dari sergapan air. Hujan seperti ini biasanya tidak akan lama. Paling juga setengah jam sudah berhenti total.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainy Day Memory : Alex and Alfred's Sequel
RomanceSetelah lima tahun lamanya terpisah, Alfred kembali dipertemukan dengan Alex. Alfred yang dari luar terlihat kuat namun sebenarnya pesimis. Alex yang terlihat dingin namun sebenarnya sangat perhatian. Akankah komedi kehidupan mereka berulang, atau...