8.

690 91 17
                                    

8.

Beri piala Oscar kepada Alfred atas penampilan cemerlangnya. Aktingnya luar biasa bagus hingga dia sendiri kagum dengan bakat alaminya.

Santai dan tenang, senyum ramah menghias wajahnya saat bersalaman dengan wanita sangat cantik yang matanya memancarkan kecerdasan tingkat tinggi.

"Alfred Gunawan," menyebut namanya sendiri, Alfred tak lupa menyapa hangat, "senang bisa berkenalan dengan Anda, Nona ...."

"Kirana. Hanya Kirana. Alex biasa memanggilku Kiran." Balas tersenyum, Kirana melirik Alex yang sama sekali tidak bereaksi. Hanya berdiri memperhatikan mereka berdua yang berkenalan dengan hangat. Tidak ada yang bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.

"Nona Kirana."

"Pak Alfred, tolong bimbing Kirana mengenai tugas-tugas utama seorang sekretaris karena---"

"Tidak perlu! Alfred punya pekerjaan lain yang jauh lebih penting. Kirana bisa belajar sendiri," sela Alex tak sabar. Ibunya lagi-lagi ikut campur dalam hidupnya.

"Oh? Tentu. Dengan tingkat kecerdasan Kirana, hal sepele seperti tugas sekretaris akan bisa dipelajari dalam sekejap." Diucapkan sambil melirik Alfred, tentu saja Alfred paham maksud perkataan Valerie yang mengecilkan tugasnya sebagai sekretaris Alex.

"Eh? Alfred ini sekretaris lu, Lex? Wahhh, gue sempat ngira kalo sekretaris lu itu cewek seksi berkacamata, siapa sangka, ternyata malah cowok cakep kayak gini."

"Mulai hari ini, Pak Alfred adalah General Manager, menggantikan Alex menjalankan perusahaan ini sebagai cabang dari Global Grup. Pengumuman resmi mengenai promosi jabatan Pak Alfred akan diberikan 3 bulan dari sekarang, setelah Pak Alfred selesai menjalani masa training." Mengabaikan pujian Kirana pada Alfred, Valerie menyalami Alfred, senyum kemenangan di wajahnya menunjukkan bahwa semua yang dia rencanakan berjalan sempurna. Menjauhkan Alex dari Alfred.

Tidak mau terintimidasi begitu saja, jiwa pemberontak Alfred yang jarang muncul akhirnya diperlihatkan, "Saya yakin, bahkan sebelum 3 bulan, saya pasti sudah bisa memenuhi harapan Ibu."

Tentu yang dimaksud Alfred bukanlah masalah jabatan, melainkan masalah harapan kuat seorang ibu yang ingin anaknya hidup normal. Sinar matanya mengingatkan Alfred pada tantenya dulu, saat mengusir Alfred dari rumah yang seharusnya milik Alfred.

Bukannya tak bisa menolak, tapi nasib ratusan karyawan di perusahaan kecil ini terancam kalau Alex menolak untuk bertolak ke perusahaan induk. Terutama Alfred.

Ibunya mengancam akan menutup perusahaan ini jika Alex masih bersikeras mengurusi perusahaan yang di mata ibunya merupakan perusahaan tempat Alex bermain.

Tanpa tahu bahwa Alfred tahu siapa Kirana, Alex masih mengira dia bisa berbohong pada Alfred. Sama sekali tidak menjelaskan status Kirana yang sebenarnya.

Meskipun hatinya hancur, Alfred sedikit bersyukur, Alex tidak mencumbuinya dengan hati yang terbagi. Sebelum Kirana hadir, setiap kali berduaan, Alex pasti mencari-cari alasan untuk sekadar memeluk, mencium ataupun menyentuh Alfred, meski hanya sekilas. Waktu Alfred mengajukan komplain, dia menjawab enteng, "Sentuhan adalah cara terbaik menunjukkan kasih sayang."

Sekarang, dengan alasan terlalu banyak hal yang harus diurus di kantor pusat, selain pulang larut, Alex selalu langsung menuju tempat tidur. Kalaupun sempat bertatap muka, dia hanya akan mencium sekilas.

Jika dulu dia selalu ribut dengan aturan seks hanya boleh di akhir pekan hingga sering menyusup masuk ke kamar Alfred untuk mencuri jatah, sekarang dia bahkan lupa kalau di akhir pekan Alfred seharusnya tidur di kamarnya.

Meski masih hidup bersama, mereka tak ubahnya dua orang asing yang kebetulan tinggal seatap.

Baik Alfred maupun Alex, sama-sama bersandiwara, berpura-pura tidak ada yang salah, tidak ada masalah, hanya waktu yang tidak mendukung. Mereka terlalu sibuk dengan tugas baru masing-masing. Itu saja.

Berbohong memang sangat mudah, apalagi membohongi diri sendiri. Cukup yakinkan diri kalau semua ini sudah sewajarnya, niscaya rasa sakit yang mendera dan air mata yang mengalir di malam hari tidak akan terlihat lagi jejaknya saat embun mulai menguap.

---

"Lho? Pak Udin? Tumben Bapak naik ke sini? Ada apa, Pak?"

Saat sedang beristirahat sambil memijat pelipisnya yang terasa penat, Alfred dikejutkan dengan sosok Pak Udin yang tiba-tiba muncul di kantornya. Tergopoh-gopoh, dia berdiri menyambut orang tua yang juga sudah menganggapnya sebagai anak.

Alih-alih menjawab, Pak Udin malah menatap Alfred lekat-lekat. Embusan napas lega dan senyum tersungging saat melihat wajah Alfred.

"Bapak kira Nak Alfred sakit. Habisnya, uda hampir sebulan kan Nak Alfred gak main ke taman."

Perhatian besar yang diberikan Pak Udin membuat Alfred trenyuh hingga ingin menangis, menumpahkan segala keluh kesah seperti yang selalu dilakukannya.

Tapi tidak. Pak Udin juga punya beban yang mungkin jauh lebih berat daripada urusan remeh seperti urusan asmara sesama pria. Alfred tak boleh menambah bebannya.

"Duduk dulu, Pak." Balas tersenyum, Alfred menuntun Pak Udin untuk duduk nyaman di sofa yang terdapat di kantor yang dulunya kantor Alex ini. "Maaf ya, Pak, hanya ada air putih."

Sejak awal bertemu, kesan Pak Udin terhadap Alfred adalah pemuda yang sangat sopan dan menghargai orang tua. Kesan yang tidak pernah luntur. Meskipun jabatannya sudah setinggi ini, terhadap dia yang berstatus tukang kebun, diperlakukan bagai tamu penting, disuguhkan minuman, benar-benar anak yang baik.

"Gimana kabar Pak Udin? Sehat?"

"Syukurlah, Bapak sehat. Nak Alfred sendiri, gimana? Sehat?" Panggilan Pak Alfred diganti menjadi Nak Alfred atas desakan Alfred. Katanya tidak baik seorang Bapak memanggil anaknya dengan sebutan 'Pak'.

"Yah, beginilah, Pak. Seperti yang Bapak lihat, sehat toh?" Alfred tertawa, berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya.

"Fisik mah sehat, tapi hati bagaimana? Sehat?"

Tawa Alfred seketika lenyap, menatap Pak Udin dengan tatapan getir sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke luar jendela, ke langit biru.

"Oh ya, gimana kabar anak Pak Udin? Uda kirim kabar?" Menolak menjawab, Alfred segera mengalihkan topik pembicaraan ke hal lain.

"Sudah. Bulan lalu dia akhirnya pulang. Walau cuman sebentar."

"Syukurlah. Yang penting dia sehat, ya kan?"

"Bapak gak pernah khawatir sama dia, di mana pun dia berada, Bapak yakin dia akan baik-baik saja. Justru Bapak paling khawatir sama Nak Alfred ...."

"Kenapa?"

Pak Udin menunjuk titik di antara alis, "Dari tadi Nak Alfred ngernyit mulu. Biasanya kalo Nak Alfred uda ngernyit gitu, pasti lagi ada masalah berat. Jangan sungkan, ceritakan aja sama Bapak."

Alfred mengangkat tangan, menyentuh titik yang ditunjuk Pak Udin, ternyata benar, lagi-lagi dia mengernyit tanpa sadar.

Kedua tangannya mengusap kasar wajahnya, berharap kerut bisa ikut terusap menjauh.

Terdiam lama dengan wajah di dalam telapak tangannya, akhirnya Alfred menarik napas panjang. ---Dari pengalaman Pak Udin, kalau Alfred sudah menarik napas panjang, artinya dia sudah siap untuk mencurahkan isi hatinya.

"Alfred mungkin akan segera pergi ...."

------ 

Rainy Day Memory : Alex and Alfred's SequelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang