Bagian 18: PERTEMUAN DALAM MIMPI

343 33 2
                                    

Pagi itu, Pendamping dan nenek tersentak melihat tubuh Dewa Balakosa mengambang di udara. Terlebih karena Dewa Balakosa menutup matanya rapat-rapat dan tubuhnya terbujur kaku di awang-awang melawan hukum gravitasi tanpa trik sulap.

"Diwangkara!" pekik Wak Timah. Dengan wajah shock, perempuan keriput itu menerobos kamar. Tanpa pikir panjang, dia langsung menarik tubuh cicitnya yang terus bergerak naik, tetapi sia-sia. Sebaliknya, tubuh Dewa Balakosa malah mengangkat tubuh ringkihnya.

"Tolooong! Tolooong! Tolooong!" Nenek berteriak sambil bergantung di tubuh Dewa Balakosa. Ujung kakinya telah tergantung dua jengkal dari lantai. Sebelah sendal jepitnya terlepas. Sebelum tertarik tubuh Dewa Balakosa lebih tinggi lagi, pegangan Wak Timah terlepas. Dia langsung jatuh terjerembab ke lantai. Setengah meringis menahan sakit, sang nenek berusaha bangkit. Sementara tubuh Dewa Balakosa yang mengambang kini nyaris menyentuh langit-langit rumah.

Di tengah kepanikan, Wak Timah memutuskan berlari keluar rumah mencari pertolongan. Sedangkan Pendamping berusaha mengerahkan energi untuk menarik turun tubuh Dewa Balakosa. Namun seinci pun posisi Dewa Balakosa tidak bergeser. Dilipatgandakannya tenaga. Tetap sia-sia.

Sayup-sayup Pendamping mendengar suara manusia mulai berdatangan memasuki rumah. Pendamping melihat Wak Timah, disusul Pak RT, Bu Etik dan suaminya, Mang Ujang, serta Pakde Har, muncul di ambang pintu kamar. Tatapan mereka tertumbuk pada satu sasaran. Kerut di dahi nenek berlipat, ekspresinya tampak bingung, "Loh! Tadi itu Diwangkara di atas, Pak RT. Sayo yakin nian!" seru Wak Timah.

Kini tubuh Dewa Balakosa tidak lagi mengambang. Dia terlelap dengan pulas di atas dipan.

"Diwang?" Pak RT menyentuh tubuh Dewa Balakosa bermaksud membangunkan.

Mata Dewa Balakosa terbuka. Dia langsung terduduk saat menyadari ada banyak orang selain neneknya di dalam kamar.

"Ada apa?" tanya Dewa Balakosa bingung dikerubungi.

"Tidak ada apa-apa, Wang. Ya, syukurlah Diwang baik-baik saja," sahut Pak RT.

Nenek tampak salah tingkah. "Tadi itu...."

"Ya sudah, Wak. Syukurlah Diwang sehat-sehat bae." Pak RT menyentuh tubuh Wak Timah.

Semua orang yang ikut masuk tadi terdiam dan tampak ragu-ragu untuk bicara. Terutama ketika Pak RT bahkan tidak memberikan sedikit pun keterangan kepada Dewa Balakosa atas apa yang telah terjadi. Dengan sopan, Pak RT menggiring para tetangga untuk beranjak keluar dari kamar. Nenek menguntit mengantar mereka keluar. Nenek masih berusaha meyakinkan Pak RT atas kejadian tak biasa yang dilihatnya barusan.

Dewa Balakosa masih terbengong-bengong dengan apa yang baru saja terjadi. Akan tetapi, beberapa detik kemudian, dia merasa kalau kejadian tadi itu tidak sepenting apa yang hendak dia sampaikan kepada Pendamping. Dia langsung menarik kedua tangan Pendamping setelah semua orang pergi. "Ping! Aku mimpi cewek di mall itu lagi!" bisik Dewa Balakosa girang.

Pendamping menghela napas. "Oh ya? Mungkin mimpi itu begitu hebat sehingga mampu membuat tubuh Dewa mengambang."

"Hah? Maksudnya?" Dewa Balakosa tidak dapat menutupi rasa kagetnya. "Aku ndak ingat apa-apa, Ping! Aku hampir tahu namanya kalau idak dibangunkan Pak RT."

Pendamping menatap Dewa Balakosa agak lama. Ekspresinya tidak tertebak.

"Kenapa?"

"Sering banget sih mimpi sama cewek di mall itu?"

Dewa Balakosa mengangguk sumringah.

"Berapa kali?"

Dewa Balakosa berpikir sejenak. "Ndak ngitung, tapi sering."

Balakosa [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang