Pagi itu, Dewa Balakosa dengan mikrolet menuju ke pasar Angso Duo. Dia tampak canggung. Wajar sebenarnya, karena Dewa Balakosa nyaris tidak pernah berkomunikasi dengan Hasna. Otaknya cukup berpikir keras menyusun beberapa larik percakapan.
"Mikir apa sih, Wa?" Pendamping memandangnya lekat.
Dewa Balakosa tak mengubris. Dia masih saja berkutat dengan lamunan tentang apakah dia harus memulai percakapan dengan kondisi sekolah, pelajaran yang mulai membosankan, atau tentang ayah Hasna yang luar biasa.
"Tadi batu asahan Nenek aku sihir jadi coklat. Tinggal bunganya aja lagi yang belum," ujar Pendamping senyum-senyum.
"Apa?!" Dewa Balakosa melotot ke arah Pendamping yang berada di depan kernet.
"Kenapa, Bang?" tanya Abang Kernet dengan pandangan tidak fokus. Dewa Balakosa hampir tidak paham kalau Abang Kernet berbicara kepadanya, ternyata mata Abang Kernet juling.
"Oh, maaf. Ndak, Bang," jawab Dewa Balakosa serba salah sambil melirik Pendamping yang terlihat cekikikan. Dewa Balakosa hendak melotot lagi tetapi ragu bertemu mata dengan si Abang Kernet.
Abang Kernet yang masih memperhatikan Dewa Balakosa menjadi bertanya-tanya, "Ngomong sama saya lagi, Bang?"
Dewa Balakosa menggeleng kuat lalu mengalihkan pandangan ke sudut lain.
"Pasar Angso Duo udah lewat, Wa!" pekik Pendamping.
"Sudah lah, berisik!" hardik Dewa Balakosa kesal. Arah pandangannya masih seolah ke Abang Kernet. Sementara kernet berperawakan kurus itu mulai terlihat sama kesalnya.
"Sayo sedari tadi idak ngomong apo-apo, Bang. Abang sehat?" tanya kernet membuat Dewa Balakosa tambah sungkan.
"Eh, maaf. Sayo yang nak ngomong, Bang. Sayo nak berenti di Angso, Bang!" seru Dewa Balakosa berusaha memperbaiki keadaan yang semakin tidak mengenakkan.
"Sudah lewat, di depan masjid baelah." seru Abang Kernet semakin kesal dengan sikap Dewa Balakosa.
"Kan, jauh, Bang. Sayo mau ke pelabuhan."
"Ya, kenapa awak baru ngomong sekarang? Angso kan sudah jauh. Mikrolet ini bejalan pake mesin bukan pake kaki."
"Ya, kalau dibahas makin jauhlah, Bang." Terdengar memelas suara Dewa Balakosa.
"Mau turun di masjid atau di rumah awak tadi?"
"Ya, tambah jauhlah, Bang, kalo turun di rumah sayo."
Tiba-tiba Supir mikrolet menginjak rem. Beberapa ibu-ibu di dalam kendaraan itu merepet panjang karena tubuh mereka tersodok ke satu sisi mikrolet seperti tumpukan kelepon.
"Turunlah. Jangan-jangan kau nih habis lari dari rumah sakit jiwo, yoh?" sahut si supir mikrolet ikut kesal.
Dewa Balakosa segera turun sambil tak putus meminta maaf.
"Gara-gara awak lah, Ping!" gerutu Dewa Balakosa pada Pendamping.
"Kok?"
"Hampir bae betinju."
"Maaf deh." ujar Pendamping penuh penyesalan.
"Kan, sudah aku bilang ndak usah ngajak ngobrol di depan umum."
"Iya, deh. Maaf."
Beberapa orang yang berpapasan dengan mereka menatap dengan wajah penuh tanya. Memasuki pelabuhan, Dewa Balakosa menaiki ketek yang sedang mangkal. Sesampai di Seberang, Dewa Balakosa berjalan sebelum tiba di depan rumah Hasna. Syukurnya pintu rumah terkuak lebar walaupun teralis pembatasnya tertutup. Dewa Balakosa segera menaiki tangga bagian depan rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balakosa [Telah Terbit]
FantasyBALAKOSA telah terbit dan bisa dipesan melalui WA 081373581989. Pertualangan Balakosa sebagai dewa yang menitis dalam tubuh manusia mempertemukannya dengan banyak sosok menarik, di antaranya Hasna. Gadis melayu yang sangat mempunyai peran besar memb...