Fitri dan Maya sempat tidak percaya waktu Hasna memberitahu keinginan Dewa Balakosa bergabung dalam kelompok belajar mereka. Di luar dugaan, Maya langsung bersikap sinis dan skeptis. Sementara Fitri menyambut antusias kehadiran pemuda bercap kulkas itu. Hasna memilih diam membiarkan kedua sahabatnya berdebat.
"Anak sombong itu, Na? Jangan-jangan dia punya maksud terselubung! Soalnya, kan, ndak ada angin ndak ada hujan, tiba-tiba bae ke rumah awak minta ikut belajar, sementara selama ini ngajak ngobrol bae ndak pernah. Gagah memang, tapi kalo ndak punya etika lama-lama malas nian lah nengoknya. Nanti suasana belajar kita malah ndak elok lagi! Ndak seru!" gerutu Maya sambil mencibir ke arah bangku Diwangkara yang masih kosong.
"Biar baelah, May. Memang Diwangkara mau ngapo? Bisa jadi dia mulai merasa butuh kawan," bela Fitri.
"Helooouw! Ngapa pula dia gabung sama kita kalau dia butuh kawan? Tania tiap hari ngejar-ngejar dia, ndak digubris. Primadona seantero sekolah ini coy, anak kepala sekolah pula. Semua makhluk di sekolah ini mau nianlah kawanan sama Tania. Terus dia sok jual mahal! Terus sekarang dia mau bekawan sama kita?"
"Udahlah, May."
"Aku jadi hilang selera! Malas nak ke rumah Hasna gek sore," tambah Maya lagi.
"Eh, janganlah, May. Ndak seru lah kita!"
"Kita ndak bisa ngobrol bebas."
"Bagus, kan? Jadi fokus belajar."
Maya memasang ekspresi sebal lalu menghentakkan kaki sebelum meninggalkan meja Fitri dan Hasna untuk kembali duduk di kursinya.
"Aduh, cak manalah tuh Maya? Aku salah ya memutuskan sendiri soal Diwang?"
Fitri menggeleng cepat. "Ndak, Na. Aku senang awak ngajak Diwang."
Hasna tersenyum tipis menjawab tanggapan Fitri. Tidak lama kemudian terlihat Dewa Balakosa datang dengan santai tanpa ekspresi. Pemuda tinggi itu bersikap seperti biasa, dingin, seolah-olah pertemuan kemarin di antara Hasna dan dirinya tidak pernah terjadi.
***
Belajar kelompok hari pertama dengan formasi baru sore itu terasa tegang. Walaupun masih terlihat tidak setuju dengan kehadiran Diwangkara, Maya tetap bersedia datang. Mereka melalui belajar kelompok sore itu dengan sangat serius. Pelajaran Matematika benar-benar penuh ilmu tanpa ada selingan gosip sama sekali apalagi tawa cekikikan seperti biasanya.
Belajar kelompok hari kedua dengan formasi baru, tidak dihadiri Maya. Hasna merasa semakin bersalah telah menghadirkan Dewa Balakosa dalam kelompok belajar mereka.
Belajar kelompok hari ketiga. Formasi kembali lengkap. Dewa Balakosa datang terlambat dan membawa kudapan. Pengakuannya, dia membuat sendiri dengan peran besar neneknya. Dia bagian Fit and proper test. Kelepon berwarna-warni itu disajikannya di depan Hasna, Maya, dan Fitri.
"Isinya coklat!" serunya bangga. Dewa Balakosa memandangi Maya yang mengambil sebutir dan memakannya dengan ekspresi aneh. Fitri mengikuti dan terakhir Hasna. Dewa Balakosa tersenyum lebar melihat ekspresi teman-temannya, "Enak, kan?"
Hasna berusaha memberi ulasan. Dengan hati- hati, dia berujar, "Rasanya inovatif."
"Cukup brilian," sahut Fitri. Dia ikut manggut-manggut dengan ekspresi sungkan.
"Aneh!" sambung Maya tiba-tiba.
Hasna dan Fitri langsung saling bertatapan. Ada keheningan cukup panjang yang mengisi jarak di antara mereka.
Tiba-tiba, Dewa Balakosa tertawa terbahak-bahak.
"Kupikir aku bae yang merasa makanan ini aneh." Dewa Balakosa menepuk punggung Maya, membuat gadis berbadan bongsor itu terbatuk-batuk karena nyaris tersedak.
Hasna segera memberikan segelas air putih pada Maya yang langsung disambar hingga kandas. "Tapi aku pernah makan sesuatu yang lebih aneh lagi," seru Maya lagi.
"Apa?" tanya Dewa Balakosa penasaran.
"Bakso." Maya memang anti sekali dengan bakso. Kalau Hasna dan Fitri pergi ke warung bakso langganan mereka, Maya selalu hanya memesan mie kuning beserta kuah tanpa bakso atau tidak memesan apa pun.
"Kalau aku ndak suka tempoyak. Menurutku itu makanan paling aneh," sambung Dewa Balakosa.
"Sembarang bilang tempoyak makanan aneh. Itu makanan tradisional kito. Semua orang melayu berebut mengakuinya sebagai makanan khas. Jambi, Palembang, Bengkulu. Mano orang melayu yang anti tempoyak?"
"Duren difermentasikan lalu dimasak sebagai lauk. Aneh nianlah!" jawab Dewa Balakosa.
"Kau nih orang melayu, bukan?"
"Bukan."
"Orang Jambi campuran."
"Melayulah tuh!"
"Aku ndak suka tempoyak."
"Melayu aneh."
"Kalau lempok duren payoh! Kasih aku berapa bae, pasti aku santap!" seru Dewa Balakosa semangat.
Hari itu, pelajaran lebih didominasi dengan obrolan ringan. Wajah Maya tampak mulai bersahabat.
Belajar kelompok selanjutnya, mereka semakin membaur. Hasna semakin tertarik terhadap kepribadian Dewa Balakosa yang berbeda dengan di sekolah. Beberapa kali tawa mereka dibuat meledak dengan cerita-ceritanya yang absurd. Maya paling semangat mengomentari cerita Dewa Balakosa. Waktu belajar mereka pun fifty-fifty sekarang, belajar dan ngobrol. Seusai belajar, Dewa Balakosa akan menemui ayah Hasna untuk berdiskusi atau sekaligus meminjam buku.
Tanpa terasa, ujian kenaikan kelas tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balakosa [Telah Terbit]
FantasyBALAKOSA telah terbit dan bisa dipesan melalui WA 081373581989. Pertualangan Balakosa sebagai dewa yang menitis dalam tubuh manusia mempertemukannya dengan banyak sosok menarik, di antaranya Hasna. Gadis melayu yang sangat mempunyai peran besar memb...